Prolog
Kitalah yang paling faham benar apa yang terjadi
sama kita. Kita juga mengerti kenangan manis dan kenangan pahit apa yang
menimpa kita. bahkan kita tak ingin kenangan pahit itu terjadi. Tapi terjadi juga. Ini yang namanya
kehidupan. Kita merasa lelah dan jenuh dalam suatu titik. Kadang kala juga kita tidak ingin melepaskan. Tapi
itu harus. Bahkan harus dilepas. Lantas, kemana kita harus membuang kenangan
manis yang telah termanage dengan rapi di hati kita?
Memang berkata itu mudah. Melakukan itu sulit. Tapi,
bukan berarti kita harus terhanyut sama kenangan manis masa lalu bukan? Come on
guys.. waktu terus berjalan, sementara jika kita masih terpaku sama kenangan.
Potensi baik yang ada di diri kita dikhawatirkan akan terkubur. Energi positif
yang seharusnya kita keluarkan untuk mengukir prestasi jadi tertunda oleh
kenangan yang sengaja kita pendam-pendam, lalu kita putar perlahan dalam memori
ingatan kita. Rugi. Itu sungguh rugi. Jangan mengatasnamakan cinta jika kita
masih terus terbayang oleh masa indah bersamanya. Itu semua masa lalu yang
harus ditinggalkan. Sedangkan kita sedang hidup di masa sekarang. Baiknya kita
isi masa sekarang dengan membuat pelangi indah kehidupan. Bersama orang-orang
yang tulus mencintai kita, yaitu ayah dan ibu.
Kerahkan energi positif kita dan cinta kita untuk
kedua orang yang paling penting dalam kehidupan kita. Yaitu orang tua kita.
Ayah dan ibu tercinta. Ayah, ibu, lihatlah anakmu ini yang pernah tersakiti,
tidak akan pernah meninggalkanmu, selalu ingin hidup bahagia bersama ayah dan
ibu. Lihatlah anakmu ini akan mengukir prestasi hanya untuk kalian. Cintaku, sayangku,
dan rinduku saat ini spesial hanya untuk ayah dan ibu. Love you.
Ya Allah, Aku
Ingin Move On
Oleh: Nur Anshari
Ini kisah seorang gadis yang memilih untuk melepaskan. Gadis ini pernah
menaruh hati sama seorang pemuda yang sempurna menurutnya. Gadis ini pun merasa
sempurna dengan mencintai pemuda ini. gadis ini bernama Diva, sedangkan pemuda
yang dicintainya memiliki sejuta potensi yang memikat hatinya. Pemuda itu tak
hanya punya wajah tampan, baik, bahkan pintar pula. Prestasi pemuda itu
berderet bak kereta api. Alhasil, sang gadis pun tertawan hatinya.
Takdir mengatakan Diva dan pemuda ini harus bertemu. Tak perlu membahas
bagaimana bisa mereka bertemu, karena takdir tak memerlukan alasan kenapa. Berawal
dari pertemuan berakhir dengan perpisahan begitulah kisah mereka. Jadi, mereka
harus bertemu jika harus berakhir dengan perpisahan. Jawabannya, pertemuan yang
kita sesali bukan perpisahan. Diva mengenal dan mencintai pemuda ini dalam
diam. hanya dipendam cinta itu seorang diri.
Setiap hari bertemu di kantor, Diva hanya bisa menunduk. Sesekali jika
tatapan mereka bertemu, Diva hanya bisa tersenyum. Cinta dalam hatinya bisa
dipendam sendiri. Bukannya Diva tidak berani mengutarakan cintanya, Diva hanya
takut cinta itu hanya dia yang rasa sendiri. Karena Diva tidak ingin memaksakan
cinta kepada orang lain, termasuk pemuda ini. Nama pemuda ini adalah Zaid.
Diva pulang dari kantor, ia mencari ibunya,
”Bu, masak apa hari ini? Diva laper banget nih!”
”ibu masak makanan kesukaanmu, nak. Redang Jengkol.”
”Wah, asyik! Diva makan
dulu ya bu, kemudian baru shalat. Nanti gak khusyuk shalatnya karena perutnya
bunyi-bunyi.”
”yasudah, cuci tangan dulu nak.”
”siip, bu.”
Sambil mengambil piring makan, ibu menunggui Diva makan. Sambil berbincang.
”Eh, si gendut udah pulang.” celoteh bang Diki, abangnya Diva.
”iishh.. abang ni. Gendut itu kan julukan Diva yang dulu. Diva sekarang
udah kurus lagi!”
”hahahah... bagi bang Diki, Diva itu tetap adik abang yang paling gendut.
Ngomong-ngomong adik abang lagi kesem-sem sama seseorang ya?”
”Diki, jangan diganggu dulu adikmu lagi makan. Nanti kesedak makannya.” nasehat ibu.
”bu, lihat tuh, bang Diki, Diva kan udah 25 tahun, masak masih dianggap 15
tahun?”
”biarin aja bu! Diva tuh masih anak-anak. Ha ha ha, abang pergi jemput
kakak iparmu dulu ya. Jangan lupa tuh kasih tau abang siapa laki-laki yang
kurang beruntung itu? Ha ha ha.” bang Diki berlalu dari ruang makan, sambil menjulurkan
lidahnya mengejek adiknya.
Memang dari dulu sampai sekarang hubungan kakak adik ini harmonis, bahkan
lebih harmonis dari saudara kandung. Maklum saja mereka kembar tidak identik.
Lahir di saat yang sama tapi berbeda wajah, sifat, dan bakat. Diki sangat
berbakat di bidang mengaji irama, sedangkan Diva sangat berbakat menulis. Saat
ini Diva sedang fokus menggarap naskah.
”bu, rendang jengkol ibu memang tidak ada tandingannya. Maknyus dan sangat
enak.”
”siapa dulu, ibu nomor satu di Kendari!”
”he he he, ibu ini. Oiya bu, ayah mana?”
”biasa, ayahmu siap makan tadi kelelahan dan tidur sebentar, nanti jam 3
disuruh ibu bangunkan. Yasudah, siap makan langsung shalat ya nak. Berdoa yang
terbaik untuk jodohmu.”
”yah, ibu jadi ikut-ikutan abang Diki nih.”
”jadi, Diva udah ada calon? Siapa? Teman kantor Diva ya?”
”ah ibu, malu Diva cerita.”
”sama ibu kok malu?”
”ia bu, akan Diva cerita, tapi nanti malam aja ya. Nih Diva harus segera shalat dan balik lagi ke
kantor. Bu, Diva dah selesai makan, Diva shalat dulu ya.”
”ia, jangan lupa doa ya nak.”
Selamat juga Diva dari keroyokan pertanyaan abang dan ibunya. Tapi selamat
untuk sementara. Nanti malam disambung lagi deh. Pokoknya, siang ini Diva harus
fokus sama kerjaan dan naskah yang sedang Diva tulis. Harus fokus.
Siang itu, Diva kembali ke kantor. Sesampainya di meja kerjanya, ada sebuah undangan pernikahan tertera di
sana. Di dalam undangan itu tertera nama
Zaid dan Rita. Apa? Ini undangan pernikahan pemuda itu? Pemuda yang sudah
kucintai diam-diam selama tiga tahun? Dia akan menikah? Tidak. Aku tidak
sanggup berada di kantor ini melihatnya setiap hari yang sudah beristri.
Diva lesu, wajahnya tampak pucat. Diva harus segera mengendalikan dirinya, tidak boleh ada yang tahu kalau ia
patah hati. Berarti Zaid memang bukan jodohnya. Cinta ini bukan Diva yang paksa
untuk hadir, tapi ia tumbuh dengan sendirinya. Dan Diva yakin, jika Diva
berusaha keras untuk menghilangkan cinta dari hatinya, pasti bisa. Walau cara
apapun harus ditempuh. Tidak boleh lagi mencintai Zaid. Tidak boleh. Walau
harus keluar dari pekerjaan ini.
Diva memikirkan masak-masak masalah ini. siang itu juga ia menjumpai bos
kantornya.
”pak Subroto, terimakasih atas perhatian dan bimbingan bapak selama ini,
saya minta maaf jika saya banyak melakukan kesalahan ketika bekerja. Tetapi
saya senang bekerja di kantor bapak. Ini surat pengunduran diri saya.”
”kenapa kamu berhenti, Diva, kamu adalah salah satu karyawati yang sangat
berbakat, banyak klien kita yang menyukai tulisanmu.”
”maaf pak, saya sudah mengambil keputusan bulat untuk fokus menjadi
penulis.”
”saya juga tidak bisa memaksa, jika begitu maumu, semoga kamu sukses dengan
jalan hidupmu. Selamat.”
”terimakasih pak.”
Keluar dari ruang pak Subroto, Diva berpapasan dengan Zaid,
”sudah Diva terima undangan dariku? Datang ya.”
”maaf sepertinya aku tidak bisa datang, di tanggal itu juga aku berangkat
ke Surabaya. Selamat ya.”
Diva berlalu meninggalkan Zaid, ia tidak mau berlama-lama mengobrol dengan
Zaid. Hatinya tak mampu dikendalikan. Sedih, teriris sembilu. Tapi, itulah
cinta, di sudut relung hati Zaid, siapa yang tahu? Ia sebenarnya mencintai Diva
atau tidak? Zaid kembali duduk di meja kantornya. Ia membuka buku catatan
pribadinya. Membacanya dalam-dalam. Kemudian Zaid merobek lembaran catatan yang
dibacanya barusan, dan memasukkannya ke dalam amplop. Meminta bantuan temannya,
Fani untuk memberikan kepada Diva.
”dari siapa surat ini Fani?”
”dari Zaid.”
”baiklah aku pulang dulu ya.”
”ia, sampai berjumpa lagi.”
Diva mengenal Fani, tapi tidak terlalu akrab. Hari itu banyak yang tidak
tahu Diva berhenti. Ia sengaja tidak ingin memberitahunya supaya tidak ada yang
curiga dengan perasaannya. Barang-barangnya nanti bisa ia minta tolong abangnya
untuk mengambilnya. Diva ngin segera pergi jauh dari kantor itu, kenangan cinta
dalam hatinya, dan Zaid.
Sepulang dari kantor, Diva menemui
ibunya
”bu, Diva berhenti kerja hari ini.”
”kenapa berhenti nak?”
”Diva mau fokus menulis buku saja bu.”
”Cuma itu alasannya, kenapa harus sampai berhenti kerja? Apa karena seorang
laki-laki?”
”hikss... hikss... bu, Diva butuh sendiri dulu, Diva naik ke atas ya.”
Diva mengunci dirinya di kamar, ia tidak ingin siapapun yang mengganggu. Ia
membuka tasnya, mengambil amplop yang diberikan Zaid untuknya. Membaca isi
amplop itu.
Untuk Diva, aku sebenarnya memendam rasa padamu.
Rasa yang aku tidak tahu berasal darimana. Aku juga memiliki rasa yang lebih
dari siapapun yang ada di luar sana untukmu Diva. Tapi aku ragu, maukah kamu
bersanding denganku yang serba kekurangan ini? aku tahu kamu wanita yang
sempurna, cantik, pintar, bisa menulis lagi. begitulah aku, tak berani
mengungkapkan rasa ini sampai tiba waktu untuk menikah, aku pun tak berani
membicarakan rasaku ini padamu. Aku menjaga hatimu dari jauh. Cukup melihatmu
dari jauh saja. Akhirnya, keluargaku mengambil keputusan karena melihatku tak
juga melamar seorang gadis. Aku dijodohkan dengan pilihan orang tua. Aku setuju
karena tidak ingin mencoreng nama baik keluarga. Mungkin kita memang tidak
berjodoh. Semoga kau tidak mencintai pemuda yang pengecut ini. aku berdoa
semoga kau mendapat laki-laki yang lebih baik dariku. Semoga!
Diva menangis. Sakit. Menderita. Patah hati. Ternyata Diva mencintai Zaid.
Dan Zaid pun mencintai Diva. Tapi Zaid tidak berani mengatakan, dan akhirnya ia
dijodohkan. Tidak. Cobaan cinta ini begitu berat. Diva menangis sendirian. Ia
ingat ia harus mengadukan masalah berat ini kepada yang bisa mengatasinya. Yang
Maha Kuasa, Allah swt.
”Ya Allah, bantu hamba melupakan seseorang yang bukan untuk hamba. Hamba
mohon gantikanlah rasa ini menjadi rasa yang biasa saja. Bantu hamba untuk
berubah menjadi lebih baik.”
Setelah mengadukan masalahnya kepada Allah swt, hati Diva sudah mulai
tenang. Ia kembali turun dan menemui ibunya,
”bu. Diva minta maaf atas kejadian tadi.”
”kejadian apa? Diva buat salah apa?”
”ibu, tadi Diva gak peduli sama ibu, pertanyaan ibu gak Diva jawab dengan
baik.”
”oh yang tadi, gak papa anakku. Pasti anak ibu yang satu ini lagi sakit cinta ya?”
”kok ibu tau?”
”tau lah ibu, insting seorang ibu itu kuat.”
Diva menceritakan kejadian yang menimpanya sama ibu. Ibu mengerti.
”nak,. Jodoh itu urusan Allah swt. Jika benar pemuda itu jodohmu, pasti ada
jalan bagi kalian untuk bersatu. Tapi, nyatanya tidak kan. Berarti memang
pemuda itu bukan jodohmu.”
”ibu, tapi.”
”ia ibu tau, Diva sudah cinta kan? Nak, cinta itu mekar karena kita yang
menyiramnya, jadi cinta itu juga bisa layu jika kita tidak menyiramnya,
membiarkannya begitu saja, dan lantas mati. Cinta pada pemuda itu juga perlahan
akan menghilang.”
”ia bu, akan Diva coba, Diva sangat sayang sama ibu.”
Diva bertekad akan benar-benar berubah. Ia habiskan segalanya untuk
berjuang di dunia menulis. Mengibakkan sayapnya menjadi penulis terkenal.
Melupakan cinta itu. Dan pergi jauh dari pemuda itu. Itu hal yang harus
dilakukannya saat ini. dan membuka hati untuk yang lain yang menjadi the true
jodohnya.
Setahun setelah Diva fokus melupakan, membuka hati yang baru, dan menulis
buku. Hasilnya luar biasa. Diva menyelesaikan bukunya dan menjadi bestseller,
menjadi penulis yang terkenal, karyanya banyak dijadikan referensi bagi
universitas di bidang sastra, bahkan novelnya dinobatkan menjadi novel paling
menginspirasi untuk move on versi majalah Remaja. Dan kini, status Diva bukan lagi lajang, Diva resmi
menjadi isteri pemilik perusahaan penerbitan di kota Kendari.
”Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba bersyukur dan memuji, Alhamdulillah.”
Malam itu, di gedung Jakarta Convention Center, dihadiri oleh tamu-tamu
spesial seperti Asma Nadia, Helvi Tiana Rossa, Andrea Hirata, dan Darwis ’Tereliye’,
Diva sekeluarga diundang ke acara bergengsi tersebut. Karena Diva terpilih
sebagai nominasi penulis muda berbakat. Orang tuanya sangat bahagia, tak
terkecuaali kembarannya. Bang Diki.
”cepat bu, si gendut Diva mau diberi anugerah tu. Nanti kita terlambat.”
”ishh.. Diva udah jadi penulis masih dibilang gendut! Awas ya bang Diki, nanti
tidak disebutkan namanya di buku Diva berikutnya mau?”
”ampuun.. ia dek Diva cantik. Abang gak lagi ngejek Diva gendut kok. Abang
Cuma ngejek suamimu Gugun yang gendut. Ha ha ha.”
”itu sama aja abang...!”
”oia, suamimu mana Diva.” tanya ibu
”oh,. Mas Gugun udah siap bu, tuh lagi manasin mesin mobil jaguar di
depan.”
”yuk semua kita berangkat sekarang, ” ajak ayah.
”ayukk..”
Perjalanan dari Kendari-Jakarta terasa menyenangkan, keluarga Diva sudah berangkat
dari pukul 3 sore, dan tiba pas jam 7 di Jakarta. Tepatnya di JCC. Gedung mewah
tempat Indonesian Idol manggung. Dulunya.
Diva dengan cantik memakai gamis biru jilbab biru, ibu dengan mata
berbinar-binar duduk di samping penulis-penulis terkenal itu. Wah, sebagai tamu
terhormat enak juga ya. Bisik ibu. Saat acara sudah dimulai, nama-nama penulis
disebutkan, termasuk Diva, Dan tak disangka, Diva menjadi nominator terbaik
sebagai penulis muda berbakat. Nama Diva dipanggil moderator, saat menerima
penghargaan dari Writer Awards, ibu, ayah, dan bang Diki bersama isteri terharu
melihat Diva naik ke atas panggung. Ibu meneteskan air mata saat diva memberikan sepatah dua patah kata di atas
pentas.
”Terimakasih dan syukurku kepada Allah swt dan Rasulullah saw. piagam ini
saya persembahkan untuk ibu. Seorang yang sangat berarti dalam kehidupanku,
untuk ayah, pahlawan hati dan keluargaku, abang Diki pesemangat dan saudara
terbaikku, dan yang tercinta Suamiku, Gugun yang dengan setia menemaniku selama
ini dan seterusnya.”
Ibu semakin deras meneteskan air mata, bang Diki bertepuk riang gembira,
disusul ayah dan suami Diva, Gugun.
Epilog
Patah hati itu lumrah. Sering
terjadi di mana-mana. Tapi yang harus dilakukan adalah berbubah. Move on. Jadi, jangan tutup potensi besarmu
gara-gara kamu susah move on. Yakinlah jodoh sudah ada di dalam garisan Tuhan,
tingkatkan saja prestasimu, fokuskan untuk membahagiakan orang-orang yang tulus
mencintaimu, yaitu orang tua, keluarga dan kelak pasanganmu. Ayo, move on
Dengan prestasi yang menyala, energi poitif yang terus keluar, InsyaAllah
jodoh terbaik sedang setia menunggu saat yang tepat untuk hadir di kehidupanmu.
Jadi besemangatlah mengukir prestasi. Buatlah ayah dan ibu bangga menjadi orang
tua kita.
Nice...!! Cuma perlu beberapa editan untuk kesalahan pengetikan.. Tetap smangat tuk nulis. Luar biasa nur anshari!
BalasHapusmakasih, ustad, tetap semangat!
BalasHapusNice epilog...
BalasHapusspeechless
Sangat menyentuh.
BalasHapus