Ini
tentang kisah cinta. suatu kota hiduplah seorang gadis yang cantik jelita, dan
tak sengaja bertemu dengan pria tampan yang kaya raya. Setelah berkenalan,
saling mencari tahu identitas. Merasa cocok, tersebutlah mereka menikah,
disaksikan ribuan malaikat yang mendoakan kebahagiaan mereka. Alhasil, setahun
pernikahan mereka, sang Khalik menganugerahkan mereka seorang anak perempuan.
Saat itu, ia masih bayi, mungil dan cengeng. Maklum namanya saja bayi.
Nama ibu
itu, Murni. Nama ayahnya Hartono. Murni dan Hartono sepakat memberi nama
anaknya Meriam Bellina. Tidak muluk-muluk, bahkan sang ayah memberikan emas
seberat 2 gram untuk bayinya. Belum dibuatkan apa-apa sih, masih disimpan oleh
ibunya. Serasa kebahagiaan mereka lengkap, saat Hartono resmi diangkat menjadi
Presdir di perusahaan tempat ia bekerja.
Sang
ayah, mengajak isteri dan buah hatinya berlibur ke pulau Bali. Akhir pekan
mereka berangkat. Ayah mengendarai mobil toyota Avanza tipe terbaru dan membawa
istri beserta anaknya yang sudah beranjak umurnya 8 bulan. Tak disangka, saat
hendak mencapai bandara, di persimpangan jalan, tiba-tiba ada mobil lain yang
melaju dengan kencang. Ayahnya pikir tak masalah, selama mobil tersebut masih
berada di jalurnya. Tapi, nasib memang tidak bisa dihindar, ternyata mobil yang
sedang ngebut tersebut menyebeng mereka, tabrakan.
Tak
pelak, mobil yang ditumpangi ketiga orang tersebut membelot ke kiri. Asap
mengepul dari depan jok mobil, mobil menabrak sebuah pohon di pinggir jalan.
Darah bercucuran dari dahi sang ayah. Ibunya pingsan, tinggal bayinya yang
sedang menangis. Sebentar saja sudah ramai orang datang menolong. Ketiga orang
ini dibawa ke rumah sakit terdekat.
Beginilah
hidup, sebentar senang, sebentar sedih. Baru saja Hartono mendapat kesempatan
menjadi presdir, kini ia harus merelakan jabatan dan kakinya. Kaki Hartono
mengalami keretakan sebab menginjak pedal gas terlalu kencang dan tubrukan keras
dengan bagian depan mobil karena tertabrak pohon. Ia harus merelakan diri
memakai tongkat sebab kakinya tak patut lagi menopang badannya karena keretakan
tulang di kakinya sudah parah. Mau dibawa berobat kemanapun kalau tulang kaki
sudah retak apalagi patah tidak akan sembuh, begitu vonis dokter yang
membuatnya menyerah untuk mengoperasikan kakinya ke rumah sakit lain.
Berbeda
dengan sang ibu, ia tidak kenapa. Tak ada luka parah, namun hatinya tergoncang.
Trauma kecelakaan masih membekas di benaknya. Ia takut naik mobil. Avanza yang
mereka beli baru seminggu harus rela di bawa ke bengkel untuk diperbaiki dan
rencananya akan dijual. Hatinya terlalu sakit untuk mengingat kejadian itu.
Lantas, apa yang terjadi dengan bayi mereka? Bayi mereka selamat dan tidak
mengalami kejadian apa-apa. Ibunya dengan sangat erat memegangnya sampai tak
lecet sedikitpun. Kasih sayang seorang ibu begitu besar.
Setelah
beberapa hari di rumah sakit. Banyak sahabat dan teman sekantor Hartono datang,
termasuk pemilik perusahaannya. Dengan berat hati dan memberi belasungkawa atas
kecelakaan yang menimpa keluarga mereka, Hartono dipindahkan ke anak
perusahaannya yang lebih kecil mengingat kondisi kaki Hartono dan jasa-jasa
Hartono yang telah banyak memberi keuntungan bagi perusahaan itu. Alangkah
senang hatinya,
“terimakasih
pak, telah mempercayakan saya memimpin perusahaan yang lain punya bapak, saya
akan lebih serius lagi bekerja pak.”
“yang
penting kamu harus sehat dulu ya Hartono,”
“siap
pak.”
Sepulang
teman-teman kantor ayahnya. isternya, membicarakan masalah yang dialaminya.
“ayah,
ada yang harus mama ceritakan sama ayah.”
“ia,
ceritakan saja Ma, ada apa?”
“mama
bantu ayah kerja boleh tidak, supaya mengurangi beban ayah.”
“tidak
usah, tidak apa-apa ayah kan masih sanggup kerja ma. Besok jika ayah sudah
sembuh ayah akan langsung kerja.”
“tapi
kan yah, kaki ayah masih belum pulih total, biar mama yang kerja saja ya.”
“tidak apa-apa
mama, mama jaga anak kita saja, malah Bellina yang perlu banyak perhatian dari
mama.”
“beneran
ni gak ayah? Mama kawatir sama ayah.”
“bener,
percaya deh sama ayah.”
Ternyata
esoknya, pasien bernama Hartono tidak dibolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Tak mengapa, Hartono masih
semangat menyambut harinya keluar dari rumah sakit. Terlepas dari apapun
kakinya mengalami retak, patah, atau apapun. Untuk keluarganya ia akan rela
mati-matian mencari nafkah. Ia sangat mencintai isteri dan anaknya. Takkan rela
mengorbankan mereka hidup susah tanpa dirinya.
Memang
sifat-sifat baik yang ada pada diri Hartono, yang membuat isterinya Murni
semakin cinta. Cinta tak hanya tumbuh saat mereka dalam keadaan senang saja,
saat jatuh terjerembab ke jurang pun cinta itu semakin kuat. Walau badai yang
terhebat pun takkan mampu merobohkan kastil cinta mereka.
Hari
berjalan hari, bulan berjalan bulan, bahkan tahun berjalan tahun. Anak
perusahaan kecil yang dipegang ayahnya berjalan begitu pesat. Keuntungan
berlipat ganda. Makmur sentosa. Hal ini bermula dari kegesitan Hartono dalam
memimpin perusahaan. Ia pergi ke perusahaan pagi sekali, mengecek segala
administrasi dan kinerja karyawannya. Seminggu sekali mengevaluasi. Mengirim
barang dan menerimanya tepat waktu. Tak ada kurang. Menjumpai dan melayani
pelanggan dengan baik. Dan tak pernah absen shalat dhuha dan sedekah. Kunci
pembuka rezeki. Padahal anak perusahaan yang dipegang hanya menjual peralatan
dan suku cadang mobil, tapi semenjak dipegang dan dijaga perusahaannya oleh
Hartono, akhirnya maju pesat.
Pelanggan
puas, orderan barang tidak hanya dari dalam kota, bahkan sampai luar kota.
Jalinan kerjasama dengan perusahaan yang dulunya tempat ia bekerja pun masih
akur. Hartono memang pekerja yang gesit dan berbakat. Walau masih menggunakan
tongkat. Keterbatasan itulah yang membuat ia tak melupakan Rabb-Nya. Berharap
hanya pada-Nya atas rezeki yang ia niatkan untuk keluarganya tercinta.
Nah,
tiba di cerita Merriam Bellina, semenjak kecelakaan itu, Bellina panggilannya,
tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik hati. Ia memiliki banyak teman di
sekolah. Beberapa kali ayahnya datang menjemputnya walau dengan tongkat, ia tak
pernah malu. Apalagi malu sama teman-temannya. Itu bukan sifat Bellina. Malah
ia dengan percaya diri mengenalkan ayahnya yang sangat ia sayangi ke
teman-temannya.
Kini
setelah beberapa tahun kecelakaan itu, Bellina sudah menginjak umur 8 tahun.
mamanya, mendidik dan membesarkannya dengan baik, di samping ia terus
mendampingi putrinya sekolah, tak berat hatinya mengantar makanan juga untuk
suaminya di kantor. Ia, tidak ingin suaminya telat makan. Walaupun sibuk, makan
tetap harus terjaga.
Memang
cinta sejati itu ada, Hartono dengan segala kekurangannya mempersembahkan
apapun yang ia punya. Cinta, uang, tenaga, bahkan raganya mampu ia persembahkan
untuk keluarganya. Suatu malam ia bertanya kepada isterinya,
“ma,
maafkan ayah yang tidak sempurna ini.”
“kenapa,
ayah bilang begitu?”
“ia,
mama kan masih cantik, sedangkan ayah sudah reyot dan pakai tongkat lagi.”
“ya
ampun ayah, (sambil mencubitnya), ialah mama masih cantik, toh kan ayah yang
tidak membolehkan mama kerja, jadi mama kan bisa merawat diri. Ini kan untuk
ayah juga.”
“hehe,
ayah malu ma. Ayah hanya bisa memberikan mama cinta, tidak ada harta
berlimpah."
“itu,
saja sudah cukup bagi mama, ayah.”
Tiba-tiba,
“ma,
Bellina tidur di kamar mama dan ayah ya. Bellina takut sama hujan, ada petir
lagi.”
“ia,
sini sayang, tidur sama mama dan ayah.” Jawab sang ayah
“ayah,
kenapa ayah sedih?”
“ayah
sedih karena ayah bahagia nak,”
“lho,
kok gitu yah? Kenapa bahagia lalu sedih seharusnya senang dong?”
“ayah,
bahagia karena ada Bellina, anak kesayangan ayah.”
“Bellina
juga sayang sama mama dan ayah.”
Keesokan
harinya, Bellina siap-siap ke sekolah, dan ayahnya siap-siap ke kantor. Bellina
menyalami ayahnya dan bersiap berangkat bersama ibunya.
“ayah,
kami berangkat duluan ya, soalnya Bellina hari ini piket di kelasnya jadi harus
datang lebih awal.”
“ia ma,
ayah yang akan mengunci rumah nanti. Hati-hati ya di jalan.”
Dengan
menggunakan sepeda motor ibu mengantar Bellina ke sekolah, mama tidak ingin
menggunakan mobil sebab ia masih trauma. Suaminya di antar karyawan kantornya
yang memang diberi tugas untuk mengantar dan menjemputnya pulang kantor.
Saat
sudah diperjalanan, Murni tidak berfirasat apa-apa. Ia mengandarai sepeda
motornya seperti biasa. Dan hati-hatinya juga seperti biasa. Tak
disangka-sangka, lampu lalu lintas sedang mengalami gangguan. Dipersimpangan
empat, ada sebuah mobil gerobak, di dalamnya supir yang melihat lampu sudah
menyala hijau. Dan di seberangnya lagi lampu lalu lintas juga sudah hijau.
Mereka melaju dengan kecepatan tinggi, jalanan belum ramai kendaraan. Tapi,
menjadi petaka untuk sepeda motor yang dikendarai Bu Murni dan anaknya.
Tabrakan tak bisa dielak. Dan ternyata tabrakannya sungguh parah. Darah
mengaliri tubuh dan badan jalan. Sepeda motor hancur remuk. Rumah sakit
memboyong dua tubuh yang terbujur kaku dan bersimbah darah ke rumah sakit. Hartono
yang telah mendengar kabar isteri dan anaknya segera bergerak ke rumah sakit
juga.
Tim
dokter sedang menyelamatkan nyawa keduanya.
Lampu
merah ruang Gawat Darurat masih menyala dan kemudian mati. Seorang dokter
keluar.
“dok,
bagaimana anak dan isteri saya?”
“maafkan
kami, kami sudah berusaha, selebihnya takdir Yang Maha Kuasa yang menentukan,
semoga bapak bisa menerimanya dengan lapang dada, isteri dan anak bapak tidak
bisa diselamatkan. Keduanya mengalami patah tulang tengkorak yang menyebabkan
kepalanya rusak akibat terbentur dengan badan mobil gerobak. Isteri dan anak
bapak sudah meninggal dunia.”
Hartono
menangis, berlari ke dalam ruangan gawat darurat. Melihat anak dan isterinya
sudah menjadi jasad tak bernyawa. Ayah mencintai kalian, sayang. Isteri dan
anakku. Ya Allah, tempatkanlah isteri dan anakku di syurga-Mu. Mereka sangat
baik dan tak pernah melawanku. Seorang istri dan anak yang shalehah. Izinkan
aku bisa bertemu mereka kelak di Syurga, aamiin.
Hartono
sedih, berat memang kenyataan yang harus diterima. Ternyata skenario
kehidupannya begitu singkat untuk merasakan bahagia. Tapi, ia yakin, syurga
akan menerima dengan baik almarhumah isteri dan anaknya yang tidak pernah
sedikitpun melanggar apalagi membantah titah Tuhannya, patuh pada suami dan rela
melakukan apapun demi menyenangkan ayahnya, Bellina.
Takdir,
mengatakan lain. Seminggu setelah meninggal isteri dan anaknya, Hartono sedang
duduk di kantor. Melanjutkan aktifitasnya bekerja. Saat jam sepuluh pagi ia
tertidur di kursinya. Sekretaris yang melihatnya urung membangunkannya. Tapi,
berjam-jam sudah Pak Hartono tidur kenapa tidak bangun-bangun. Sekretarisnya
khawatir. Ia mencoba membangunkannya.
“pak,
sudah dhuhur, bapak tidak shalat dulu?”
Tidak
ada jawaban.
Sekretaris
memberanikan diri menggoyang-goyangkan badannya. Greek.. pak Hartono terjatuh
dari kursi. Sekretarinya berteriak, “tolong-tolong pak Hartono pingsan.”
Segera
dilarikan ke rumah sakit. Aneh, pak Hartono dinyatakan meninggal oleh dokter.
Semua karyawan yang mengantarnya bingung. Bapak Hartono meninggal dalam keadaan
tidak sakit apa-apa dan bahkan dalam keadaan tidur. Subhanallah, doa pak
Hartono didengar, ia tak ingin menjalani hidup tanpa isteri dan anaknya. Ia
ingin menyusul mereka. Apakah ini cinta sejati itu?
Komentar
Posting Komentar