Si Lastri




  Lastri. Gadis kampung yang jarang keramas sama sampoan. He he. Gak kok, maksudnya Lastri yang sering keramas dan sampoan. Berwajah oval berkulit langsat. Sepintas melihatnya, ia tampak seperti gadis tomboy yang kerap mengenakan jaket plus jilbab. Saat hujan atau gak selalu jaket yang dipakainya bila keluar rumah. Tapi kadang-kadang juga lagi mood hatinya baik dia akan mengenakan pakaian yang amat rapi.

Lastri tidak hanya hidup sendiri. Ia bersama tiga kakak dan empat adiknya hidup bersama kedua orang tua yang harmonis. Biarpun keadaan keluarga mereka dikategorikan keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang pegawai di perusahaan swasta. Sedangkan ibunya hanya seorang penjahit.

Lastri, saat itu sedang berseklah di SMA Pelita Bangsa, Medan. Tak jarang ia sering pulang sore hari karena les ektrakurikuler di sekolahnya. Lastri siswi yang pintar, apalagi dibidang jurnalistik. Ia jagonya buat puisi dan cerpen. Karya-karyanya kerap mejeng di mading dan majalah bulanan sekolah. Padahal ia baru kelas satu SMA.

Pernah suatu ketika, ada seorang penulis dari Jakarta mampir dan mengisi kelas jurnalistik di sekolah. Lastri amat antusias mengikuti kelas itu. Inilah impian yang selama ini dia tunggu. Pagi itu, tepatnya hari selasa, Lastri cepat-cepat bangun pagi. Ia shalat shubuh dan menjalani tugas harian di rumah. Semua sudah dapat tugas. Sampai adiknya yang paling kecil, yang masih kelas 2 SD pun punya tugas menyikat gigi dengan bersih.

”kak lastri, coba lihat gigi adek udah bersih kan?” teriak Alee dari kamar mandi.
 
”udah lee, cepetan donk sikat giginya, kak lastri mau mandi.” Lastri mengiyakan saja tanpa melihat lagi gigi adiknya, karena ia harus segera berangkat.
 
”ia kak Lastri, ini kan Alee sudah siap.”
Tanpa ba bi bu lagi, Lastrio menyambar handuk di gantungan handuk, lantas mandi.

”Alee, sabunnya mana?” teriak lastri dari kamar mandi.
 
” he he he., sabun mandinya ada sama Alee kak,. Ha ha ha ha kak Lastri sih suruh cepat-cepat.”
 
”Aleee......”
***
 
Jam 8 bel sekolah berbunyi
Semua siswa siswi yang masih berjalan di koridor kelas segera berlari masuk kelas. Takut-takut pak parmin keluar dari kantor. Abis disikat dengan beliau dengan segudang ceramah nasehat. Semua murid sudah hafal gelagat beliau. Bisa-bisa satu jampelajaran habis tak bisa diikuti sangking khusyuknya mendengar ceamah tak henti-henti. He he he

Lastri yang saat itu tengah berlari menuju kelas, tak disangka-sangka berpapasan pula dengan pak parmin.

”lastri, kemari.”
 
”eh. Anu. Ia pak.”
 
”ikut bapak ke kantor.”
 
”baik pak.”

Dalam hati sembari berjalan menuju kantor mengikuti pak parmin dari belakang. Hati lastri tidak tenang. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba di suruh menghadap ke kantor? Lastri ada salah apa?” gumamnya.
Sudah sampai di depan pintu kantor.

”masuk, Lastri. Titah pak Parmin.”

Saat Lastri masuk, ia terkejut melihat siapa yang ada di dalam kantor. Lastri terdiam membisu. Tubuhnya keram, keringat mengucur. Bukan karen asakit. Tapi ia seperti sedang bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Tapi ini bukan mimpi, ini nyata. Dihadapannya sekarang ada penulis ternama dari Jakarta Asma Nadia sedang duduk tersenyum padanya.
 
”begini Lastri, mbak Asma Nadia ini mau mengisi acara jurnalistik untuk nanti sore, tetapi mendengar kabar kalau disekolah kita ada bakal caln penulis yang karyanya tak diragukan lagi kualitasnya dan beliau ingin merekrut nak Lastri menjadi relawan di rumah baca Asma Nadia Jakarta. Selain bisa menjadi relawan nak lastri akan diarahkan menjadi penulis terkenal.”
Pak Parmin mempersilakan Lastri duduk terlebih dahulu, sembari diam ucapan Lastri yang pertama.
 
”Mbak, saya Lastri pengagum berat karya-karya mbak. Saya sangat senang bisa bertemu langsung dengan mbak. Bahkan dalam mimpi pun saya ingin sekali bertemu. Tapi, Alahmadulilah Allah mengabulkan doa saya, saya bisa diepertemukan langsung dengan mbak. Live bahkan.”
 
”sebelumnya, saya ingin sekali bisa menerima tawaran mbak, tapi maaf. Saya benar-benar sangat mau menerima. Akan tetapi, kondisi keluarga saya lagi kurang baik untuk saya tinggalkan ke Jakarta. Orang tua saya membutuhkan saya di sini. Teirmakasih banyak mbak atas tawarannya. Saya harap mbak gak kecewa.”
 
”bagus. Tidak semua keinginan kita menjadi hal yang harus kita perjuangkan. Tapi, ingatlah orang tua yang masih membutuhkan kita. Saya harap kita bisa bertemu lagi. Saya penasaran dengan tulisan-tulisan kamu yang sudah diperlihatskan sama saya. Berjuang terus nak ya. Sayangi orang tuamu ya. insyaAllah nak akan menjadi anak yang berbakti.”
 
”terimakasih mbak Asma Nadia, sebelum itu, boleh saya minta tanda-tangan mbak boleh?”
 
”ia, dengan senang hati nak.”
***
 
Sepulang sekolah, kelas jurnalistik sore tadi begitu menarik, seru, terkesan, bahkan sesi foto bareng gak ketinggalan. Lastri masih dapat tersenyum bahagia. Walau dari lubuk hatinya yang paling dalam ia tak ingin kecewa. Tapi, itulah Lastri. Gadis kuat yang ingin mendampingi orang tuanya yang sudah tidak muda lagi. Orang tua yang sering sakit-sakitan. Dalam hatinya ia berdoa,

”Ya Allah berikanlah jalan yang terbaik untuk hamba, hamba ingin berbakti kepada kedua orang tua. Gantilah kesedihan hamba dengan kebahagiaan. Aamiin.”

Walaupun Lastri anak ke empat, tapi ketiga kakaknya telah berumah tangga dan punya rumah sendiri. Ayah Lastri sudah tua, sering lupa. Kegiatan rumah tangga dan kebutuhgan sehari-hari banyak yang tersendat dan kacau. Lastrilah yang bertugas mengecek rumah. Apa sudah dikunci pintu sewaktu malam. Apa sudah dimatikan air bila bak sudah penuh. Hal-hal demikian kecil memang, tapi besar pengaruhnya untuk kehidupan.

Lastri lah yang membantu kedua orang tuanya. Apalagi mamak. Sayang seklai melihatnya. Kadang seirng sekali mengecek dapur. Kalau-kalau mama lupa mematikan kompor. Makanya, lastri sangat berat meninggalkan kedua orang tuanya di rumah tanpa dirinya. Adik-adik Lastri masih kecil, kelas 2 SD.

 Demi baktinya kepada kedua orang tua lastri pun cepat mengambil keputusan. Ia menolak tawaran Asma Nadia. Setelah ia menolak tawaran itu, Lastri semakin giat belajar, bantu orang tua, bahkan mempersiapkan adiknya Alee sekolah. Kerjaan rumah beres, adiknya oek kesekolah, orang tuanya aman terkendali, baru lastri lega ke sekolah. Tiga tahun berjalan begitu cepat. Seperti angin berlalu.

Kini, lastri telah memilih kampus terbaik di kota Medan. Menjadi siswi terbaik di kotanya, dalam rangka karya tulis ilmiah sekota Medan. Beasiswa dari walikota Medan pun ia peroleh. Dan tak disangka, Lastri mendapat undangan khusus ke Jakarta selama lima hari dalam Workshop penulisan ilmiah yang diundang langsung oleh Presiden karena karya tulis ilmiahnya tembus hingga ke internasional dalam ajang pencarian bakat jurnalism of student in the world.

Tak hanya Lastri yang dibiayai. Walikota Medan pun dengan senang hati membiayai tiga anggota keluarga lainnya. PP pesawat pulang pergi jakarta Medan plus menginap di hotel sampai acara berakhir. Lastri sujud syukur kepada Allah swt. Baktinya kepada kedua orang tua kini menghantarkannya pada keajaiban yang Allah berikan padanya. Ia berdoa,

”Ya Allah, panjangkanlah umur kedua orang tuaku, mudahkanlah perjalannku bersama mereka. Aamiin.”
Sehabis itu,
 
”ayah,.Bu..”
 
”ada apa Lastri kok teriak-teriak baru pulang.”
 
”ayah,. ibu.. Alee, kita akan ke Jakarta minggu depan. Lastri dapat undangan dan kita sekeluarga akan ke 
Jakarta selama lima hari. Gratis.”
 
Alee, Bapak, Ibu, serentak. ”ALHAMDULILLAH”. Senyum bahagia ayah dan ibu yang membuat Lastri lebih bahagia.

Komentar