Katanya Muslimah, Tapi Kok Malu Berhijab?




Oleh: Nur Anshari

Hijab itu hidupku
Hijab itu harga mati
Hijab itu prinsip
Hijab itu Identitas
Hijab itu hatiku
Hijab itu cintaku

semua ini kulakukan karena aku cinta Rabb-ku. Allah SWT Yang Maha Memberi Cinta.



Menjadi muslimah adalah pilihan. Menjadi muslimah sering dirundung masalah dan tantangan. Masalah yang melanda terus menerus tentu harus selalu dihadapi dengan sabar. Aku bernama Hesti. Gadis belia, polos, dan apa adanya. Itu sih kata teman-temanku. He he he

Aku Berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tak banyak uang juga tak kekurangan uang. Keluargaku terlihat sederhana dan apa adanya. Sederhana dalam mendidik anak-anaknya hingga tumbuh besar dan dewasa.

Mamak dan ayah tak pernah mendiktekan kehidupan anak-anaknya. Harus berbuat begini dan harus berbuat begitu. Tapi kalau untuk pendidikan harus seperti itu. Selebihnya, seringnya kami sendiri yang menentukan kehidupan kami. Alhamdulillah aku terlahir dalam bingkai keluarga yang beragama Islam. Rambu-rambu Islam dididik dengan baik oleh keluarga ku.

Dengan demikian, ayah dan mamak sebagai guru Islam pertama bagi kami. Aku masih ingat, saat itu agama Islam sebagai agama mayoritas di Aceh dan dilaksanakan oleh masing-masing pemeluk. Tidak ada campur tangan pemerintah. Jadi, menjalankan perintah wajib dalam Islam tergantung dari kesadaran masing-masing individu.

Sekitar tahun 2002, syariat Islam diterapkan di Aceh. Pemerintah menetapkan beberapa peraturan terkait penerapan syariat Islam di Aceh. Salah satunya kewajiban berbusana muslim dan muslimah bagi penduduk yang beragama Islam di Aceh. Keluargaku menjalankan kewajiban tersebut. Sementara aku, masih belum mengerti untuk apa berbusana muslim karena umurku masih terlalu muda. Kelas 4 SD.

Mamak dan kakak-kakakku berhijab. Kemanapun berhijab. Aku juga memang menggunakan jilbab ke sekolah namun tidak saat di rumah dan bermain di luar. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMP kelas 2. Aku jadi ikut-ikutan. Berhijab juga. Aku mulai merubah sedikit penampilanku lebih sopan dengan hijab.

Pada awalnya, aku mengenakan pakaian kaos panjang dan dipadu dengan celana kain. Jilbab menenteng rapi di kepalaku. Aku tak berani keluar main. Sepertinya aku sedikit malu dengan penampilanku yang sudah berubah. Aku malu bermain dengan teman-teman.

Teman-temanku belum berhijab satu pun. Dengan santai mereka bermain keluar rumah dengan rambutnya tergerai di bawah sinar mentari. Sedangkan aku mau bergabung dengan mereka? Dengan hijabku ini? Aku malu.

Saat itu, umurku masih 14 tahun. Umur yang masih labil dan terlalu muda membuat komitmen besar seperti hijab ini. Semenjak itu, duniaku berubah. Dulu sering bermain dengan teman-teman sebaya di sekitar rumah. Kini hanya berdiam diri di rumah. Terlihat kurang pergaulan. Katanya muslimah tapi kok malu? Gumamku dalam hati. Tapi apalah daya, aku benar-benar malu untuk sekedar bermain keluar rumah dengan hijab ini. Duniaku suram. Sepi.

 “Hesti, ayuk main.” Seorang teman berdiri di depan rumahku mengajak bermain. Aku menggeleng-geleng kepala. Tidak mau.

Keesokan harinya, aku disuruh mamak membeli minyak goreng ke warung sebelah. Aku mengiyakan. Pas di jalan.

“Eh, Hesti. Cantik ya sudah pakai jilbab.”

Aku menunduk malu. Hanya membalas dengan senyum. Aku memandang diriku di cermin. Aku sudah putuskan berjilbab di usia muda, tapi kok gini? Malu.

Memang di daerahku saat itu, berjilbab selain ke sekolah masih terlihat hal yang baru. Termasuk yang aku rasakan. Aku mendapati diriku berubah 180 derajat ketika menggunakan jilbab. Tak banyak yang dapat kulakukan selain sekolah dan berdiam diri di rumah.

Beberapa bulan kemudian. Bahkan hampir 3 bulan kejadian itu berlangsung. Mamak dan kakak-kakakku sudah menasehati, “Hesti harus kuat donk dengan hijab. Allah akan memberi kita banyak pahala jika kita menjalankan perintah-Nya. Yakinlah sayang. Allah gak melarang kok Hesti bermain dengan teman-teman. Jangan mengurung diri di rumah ya nak.”

Sejak itu, aku mulai memperbaiki ibadahku, pendekatanku kepada Allah mulai aku perdekat-dan perdekat lagi. Aku seperti mendapat cahaya kekuatan dari sebuah jilbab. Penampilanku yang masih menggunakan celana kini sudah berubah menggunakan rok yang lebih sopan. Aku mengganti beberapa baju yang rada sempit dengan baju yang longgar. Sikap malu-malu sudah berubah menjadi berani. Aku mulai bermain bersama teman-teman tetap dengan dengan hijab.

Awalnya, teman-teman sepermainanku melihat aneh kepadaku.

“Eh, Hesti, gak panas apa pakai jilbab?” kata Beni, salah satu teman bermainku.

“gak ah, adem kok.”

“kalau aku, ogah pakai jilbab. Gerah.” Sambung Fifi.

“ia, pelan-pelan saja, semoga bisa segera berhijab juga. Yuk kita main bulu tangkis.”

“ayuuukkkk,,”

Hah, aku senang sekali. Kekuatan apa ini? Ya Allah terimakasih telah mengeluarkan dari belenggu kesepian. Aku mendapat banyak keberanian untuk pergi kemana-mana dengan berhijab. Tak menyembunyikan diri dan berani menatap dunia.

Ternyata tingkah dan kelakuanku berhijab diikuti oleh beberapa temanku di rumah yang ikut menggunakan jilbab. Alhamdulillah. Aku begitu senang. Sudah bermain dan bersama dengan teman-teman yang juga ingin menutup auratnya. Semakin besar keimananku kepada Allah.

 Ternyata benar, selama kita istiqamah memegang apa yang kita yakini insyaAllah selalu ada jalan mulus yang diberikan Allah. Mungkin memang benar, kisahku berjilbab tak seekstrim dan berbahaya seperti yang dialami muslimah-muslimah tangguh di luar sana. Di negara-negara tertentu bahkan larangan berhijab terang-terangan diterapkan. Sedangkan kita dengan sangat mudah bisa berhijab, tapi masih merasa malu? Duh... move on donk Hesti. Hesti pun sadar, bukan masalah umur yang terlalu muda yang membuatnya malu berhijab, tapi karena ikut-ikutan. Nah, ini yang harus dirubah. Hesti merasa ia harus merubah prilakunya. Ia tancapkan niat berhijab karena Allah swt. Ini baru bener!

Mulailah segala sesuatu dari hati dan keyakinan. Bukan karena ajakan dan perintah dari penguasa sekalipun. Karena segala ibadah yang dilakukan berdasarkan niat dan keyakinan dari diri sendiri bukan ajakan, ikut-ikutan dan paksaan akan lebih berarti dan kekal dari pada paksaan orang lain yang tidak didasari niat untuk berubah. Semua itu berawal dari niat. Usaha yang gigih dan hidayah dari sang Pencipta. Semoga muslimah-muslimah tangguh di luar sana tetap istiqamah dengan hijabnya. Tapi tak hanya jilbab juga ya, kepribadian juga harus diperbaiki. Supaya serasi antara luar dalam. Cantik luar dalam.



Komentar