Ini Saatnya Aku Membahagiakanmu

 
Oleh: Nur Anshari
Tak ada seorang pun manusia di dunia ini yang bisa memilih menjadi siapa dirinya dan siapa kedua orang tuanya. Orang tua pun tak dapat memilih siapa yang akan menjadi anaknya  jika lahir nanti. Begitu pun sebaliknya anak tidak bisa memilih siapa kelak yang akan menjadi orang tuanya. Seperti halnya aku. Aku tak dapat memilih siapa yang menjadi ayah dan ibuku. Semua sudah ada suratan takdirnya.Allah yang mengaturnya.

Bumi pun menyambut kelahiranku dengan selayaknya. Tak ada satu daya kekuatan yang dapat melawan takdir Allah. Aku lahir di sebuah keluarga yang sederhana dan berkecukupan. Aku tumbuh menjadi gadis yang terdidik dengan baik oleh kedua orang tua. Walau terkadang aku sering membuat ayah dan ibuku jengkel dengan tingkah burukku di masa kecil. Seperti tidak mematuhi perintah, sering membantah, namun masih dalam batas kewajaran tingkat kenakalan anak-anak.

Tak hanya aku saja yang menjadi anak ayah yang baik dan ibu yang sempurna itu. Kami, enam bersaudara yang hidup rukun dalam sebuah rumah yang tentram dan sejahtera. Hingga umurku menginjak remaja. Rumah tangga ayah dan ibuku dilanda permasalahan ekonomi yang pelik. Masa sulit kami selama bertahun-tahun membuatku semakin dewasa. Dewasa untuk memilih masa depan yang lebih cemerlang untuk menguatkan pondasi rumah keluarga kami. 

Untunglah kakak pertama dan abang sudah mandiri dan mampu membantu kekurangan ayah dan ibu. Tetapi belum bisa terpecahkan segala permasalahan. Aku sudah tamat Madrasah Aliyah. Sudah saatnya aku masuk kuliah. Saat itu orang tua hanya sanggup membiayai kuliah di ibukota kabupaten saja. Tak mampu menyekolahkanku hingga ke ibu kota provinsi. Aku memutar otak dan mencari cara. Cita-citaku kuliah di luar kampong halaman tertanam dalam di sanubariku.

Allah selalu punya rencana yang terbaik untuk hamba-Nya. Tak dikira-kira beasiswa Bidik Misi menghampiri dan menyelamatkan impianku. Dan akhirnya 2010 silam aku diterima masuk di IAIN Ar-Raniry yang sekarang sudah beralih status menjadi UIN Ar-Raniry. Tapi masalah tentu saja ada. Di saat beasiswa itu tak kunjung cair tepat waktu. Dan tentu saja hidup terus mengeluarkan biaya. Aku yang hidup merantau jauh dari orang tua. Mau tidak mau aku memberitahu keadaanku yang kekurangan dana.

Ayahku yang hanya seorang pedagang musiman. Maksudnya, lagi musim anak sekolah baru, ayah berjualan perkakas sekolah. Lagi musim durian, ayah menjual durian. Lagi musim biasa-biasa saja ayah menjual alat-alat dapur. Ayah yang hanya mampu membelanjakan isi dapur tak lebih. Hanya bisa membantuku lewat doa dan semangat. Tetapi itu saja aku tetap bersyukur. Karena doa juga merupakan senjata orang beriman. 

Akan tetapi ibuku, yang hanya seorang pedagang sayur pagi. Seribu dua ribu untung dari jualan sayur ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Pedagang sayur seperti ibuku yang berjualan di emperan toko begitu menusuk hati. Pembeli demi pembeli ia layani dengan baik. Mengumpulkan uang seribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, dan hingga lima puluh ribuan. Dan mengirimkannya ke rekeningku.

Ibu tetap ingin menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Ia tidak mau nasib anaknya sama sepertinya. Air mataku tak henti menetes dikala malam saat ia tertidur kulihat tangan dan kakinya yang keras dimakan sandal tipis saat berjualan di area yang kadang becek karena hujan. Kulit wajahnya yang dulu putih bersih kini sudah hitam legam dimakan panasnya matahari saat berjualan. Rambutnya yang hitam dan lebat kini sudah memutih dan rontok. Demi permintaan ibuku agar aku menuntut ilmu setinggi-tingginya, aku terus bertahan dan terus mengambil hikmah dibalik semua ini. Impianku menjadi penulis terus bergulir. Ini merupakan tulisanku yang keenam untuk dibukukan. Kisah nyata yang akan tersimpan rapi dalam sebuah tulisan. Hal ini membawaku dan menyemangatiku untuk tamat kuliah tepat waktu. Aku tak ingin menyiayiakan waktu.
Ibuku, wanita yang sangat tegar. Di saat aku ada masalah, aku menelpon ibu. Menanyakan pendapatnya. Ibu, aku sebenarnya punya masalah begini-begini. Dan ibu mendengarkan dengan baik sambil sesekali memberikan nasihat dan solusi. Kadang kala ibu memarahiku karena masalah yang aku hadapi merupakan salahku sendiri. Kadang kala ibu menangis, saat aku menceritakan kisah piluku hidup merantau jauh dari mereka.

Sebagai gantinya, ibu tak pernah memintaku ini itu. Mendengar prestasiku ibu ku amat bahagia. Dan tidak memarahiku saat aku tidak memperoleh prestasi Menenangkanku saat aku sedang emosi karena kehidupan kampus yang sesekali menjengkelkan. Begitu seterusnya. Setahun, dua tahun, tiga tahun Hingga akhirnya masa studiku berakhir. Dan esok gelarku akan disamatkan di akhir namaku, Nur Anshari, SHI. Terimakasih untuk ibuku tercinta, Herawati. Ibu adalah sosok terhebat bagiku. Ibu, kau pelita di kegelapan. Sudah saatnya ananda membahagiakanmu. Dan teman-teman bahagiakanlah ibumu jika ia masih ada di dunia ini. Untuk Ayah yang tiada henti berusaha. Anakmu ini juga ingin membahagiakanmu.

                                                                        Banda Aceh, 18 Agustus 2014
                                                                       

Komentar