Oleh: Nur Anshari
Saat Reni bersepeda menyusuri jalan menuju taman mobil berwarna
putih menyenggolnya. Tak bisa mengendalikan diri, akhirnya Reni pun terjatuh.
Tangannya lecet kena aspal jalan. Keluarlah sesosok pria dari mobil tersebut.
“maaf, aku tidak sengaja, apa kamu baik-baik saja”
“ia, tidak apa. Cuma lecet sedikit.”
“aku antar kerumah sakit ya?”
“tidak usah, rumahku dekat kok.”
“benar tidak ada yang serius?”
“ia, tidak apa-apa”
“aku bantu bawa sepedanya ya.”
“tidak perlu, aku bawa sendiri saja, aduh!”
“tuh kan, sini biar aku bantu, rumahmu dimana?”
“baiklah, rumahku di pengkolan sana, rumah cat hijau yang ada
banyak bunganya.”
“ia, sebentar ya, aku parkir mobil dulu.”
“ia”
Reni dan pria itu pun berjalan beriringan. Reni menjaga jarak
sejauh dua hasta. Dia merapikan sedikit kerudungnya yang miring pasca terjatuh.
Pria itu pun memperkenalkan dirinya.
“kenalkan, namaku Tio Prakoso. Aku pindahan dari Magelang, Jawa
Timur.”
“aku Reni Murfika, asli Sunda.”
“nama yang indah, seindah orangnya. Ooppss… maaf”
Reni hanya diam tak berkata apapun. Sepertinya Tio merasakan ada
getaran aneh dari dirinya. Semacam sinyal peringatan untuk organ yang bernama
hati. Tapi, sebisa mungkin Tio sembunyikan dengan memulai kembali pembicaraan.
“boleh aku memanggilmu Reni?”
“boleh”
“kalau minta No. Hp?”
“maaf?”
“oh, ia ya. Maaf.”
“ini rumahku, aku masuk dulu ya.” Sambil mengambil sepedanya tetap
dengan wajah tertunduk.
“ia” Tio terpaku melihat rumah yang begitu besar dikelilingi bunga
Mawar berwarna warni, ada merah, putih, dan hijau.
Pertemuan yang pertama itu, menancap dengan kuat di hati Tio.
Semalaman ia tak bisa melerai amukan hasratnya untuk mengenal Reni. Namanya
terngiang di kepalanya. Wajahnya yang teduh tanpa senyum tetap membuatnya
terpana. Tio berencana membangun cinta dengan gadis yang telah mencuri
perhatiannya hari itu.
Beralih ke Reni, ternyata ia punya ledakan yang sama. Jantungnya
berdegub kencang saat Tio baru turun dari mobil. Ia harus menyembunyikan diri
dan perasaannya saat berbicara dengan Tio. Karena ia paham benar, ajaran agama
Islam bahwa yang bukan muhrim tidak boleh mengikuti hasrat yang belum halal.
Dalam hati, ia terus beristighfar semoga ia mampu menjaga hatinya, hanya untuk
mencintai orang yang sudah halal.
Malam pun berganti pagi, di ufuk timur matahari sudah siap terbit.
Sinarnya yang kuning menyilaukan disambut oleh sekalian makhluk dengan memulai
aktifitas seperti biasa. Begitu pula Reni dan Tio. Tak sengaja, Reni berjalan
menuju sekolah dengan berjalan kaki. Sementara di ujung jalan, mobil Tio
menancap dengan pelannya, ia membuka mata lebar-lebar memperhatikan kekuasaan
Allah yang telah menciptakan alam semesta dan makhluk dengan indahnya, termasuk
menciptakan gadis yang telah mencuri hatinya. Reni. Mata Tio tertuju pada gadis
yang memakai seragam sekolah, ia kenal gadis itu. Itu Reni.
“Pagi Ren, yuk kita barengan
aja”
“ndak, makasih Tio.”
“gak papa kok, naik aja nanti bisa terlambat ke sekolah lho”
“sekolah kan deket, aku jalan kaki aja”
“oke lah kalau begitu aku duluan ya.”
Seharusnya aku paham, saat hari itu, kamu bukan gadis sembarangan.
tak pernah ku jumpai gadis sepertimu. Dulu, kalau di Magelang aku sering
menjumpai gadis yang terpukau melihatku, malah gadis itu yang meminta naik
mobilku. Tapi kamu beda Ren, kamulah gadis yang kucari selama ini. Aku akan
berusaha mencari tahu tentang dirimu. Sambil berlalu.
“Baiklah, aku duluan ya Ren.”
“ia,”
Bayangan mobil Tio sudah hilang di ujung sana. Tapi, Reni masih
merasa deg-degan.
“Ya Allah, lindungilah dan jagalah hamba dari godaan nafsu.” Bisik
Reni dalam hatinya.
Setiap harinya, selalu saja Reni dan Tio berpapasan saat berangkat
pagi. Apakah ini pertanda jodoh?
“sudah berbulan-bulan aku selalu ditolak Reni untuk naik mobilku.
Jangankan pergi bareng, kerumahnya aja pun aku selalu tidak berhasil menemui
Reni. Saa t aku berencana mengunjungi Reni kerumahnya. ibunya yang selalu
menemaniku. Reni tak pernah keluar kamar saat aku ada di rumahnya. Ibunya pun
memberi nasehat padaku.
“nak Tio, bukannya Reni tidak mau menemui nak Tio, tapi Reni merasa
nak Tio bukan siapa-siapa Reni, Reni hanya ingin menjaga dirinya agar tidak
terpikat dengan hal-hal yang belum pantas untuknya.” Suara lirih ibu Reni
membangunkanku.
“ia, bu. Tio akan berusaha memperbaiki diri.”
“jangan lupa shalat nak ya.”
“ia bu, terimakasih. Tio pamit dulu.”
Di balik kamar itu, Reni amat senang setiap kali Tio berkunjung
kerumahnya. Namun, ia paham benar dari cerita ibunya kalau Tio belum pantas
untuknya. Pemahaman agama Tio masih mengkawatirkan. Reni harus benar-benar
memikirkan ini.
Tio seperti kena siraman rohani setiap kerumah Reni. Disambut oleh
ibu Reni yang banyak memberikan pencerahan agama. Semakin lama Tio semakin
tertarik ingin selalu kerumah itu. Alas annya selain ingin bertemu Reni, tapi
jiwa Tio terpanggil dengan segala nasihat kebaikan dari ibu Reni. Karena selama
ini, ayah dan ibu Tio tinggal di luar negeri. Tio hanya tinggal dengan
pembantu. Alhamdulillah Tio di sekolahkan di sekolah Islam. Setidaknya, ia
mengerjakan shalat lima waktu selalu. Tak pernah bolong. Tapi, untuk kajian
Islam lainnya, Tio masih minim pengetahuan. Termasuk pergaulan antar lawan
jenis.
Lama-lama Tio jadi paham, kenapa Reni tak pernah mau diajak naik
mobilnya. Karena mereka bukan muhrim dan belum halal. Jadi begitu… Reni memang luar biasa. Seminggu
telah berlalu, Tio ingin memperdalam ilmu agama, ia meminta pindah kerja ke
Panguyudan. Di sana ada perusahaan di dekat sebuah pesantren. Ia ingin mondok
sekaligus bekerja di perusahaan itu. Tio berencana memberitahu Ibu dan Reni.
Pagi itu, tetap saja Reni tidak keluar dari kamarnya. Hal itu sudah
biasa bagi Tio. Tio menjelaskan kunjungannya ini untuk yang terakhir. Ibu
mendengarkan sambil mengucap syukur pada Allah yang telah membukakan pintu hati
nak Tio dan niat tulus untuk memperbaiki dirinya.
“bu, Tio pamit ya, salam untuk Reni.”
“ia nak, hati-hati ya. Ibu doakan supaya nak Tio mendapat apa yang
nak Tio cari.”
“amiin. Terimakasih bu. Titip Reni bu ya, hehe..”
Di balik kamar, seperti biasa Reni menangis tersedu-sedu. Ia merasa
harus benar-benar mengisi keimanannya kembali, karena cinta yang sesungguhnya
adalah cinta yang dilandaskan dan melebihi cinta kepada Allah. Melabuhkan cinta
hanya kepada insane yang juga melabuhkan cintanya kepada Allah. Astaghfirullah…
semalaman Reni menginstropeksikan dirinya, mungkin ia juga harus berubah lebih
mencintai Allah daripada makhluk.
Lima tahun kemudian. Reni mendapat tawaran mengajar di Pesantren Panguyuban.
Ia diundang mengajar di sana oleh Kiai pimpinan pesantren. R eni mengajar
pelajaran tafsir. Jodoh memang di tangan
Allah dan Allah pula yang mempertemukan. Siang itu, setelah berkemas-kemas
menduduki sebuah rumah untuk pengajar, Reni berencana membeli beberapa
perlengkapan di Koperasi.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Subhanallah Reni! Apa kabar?.”
“Tio, Alhamdulillah baik-baik saja, Tio apa kabar juga?”
“Baik-baik juga Alhamdulillah, kamu ngapain?”
“membeli beberapa perlengkapan. Tio ngapain?”
“Alhamdulillah saya di sini sebagai Kepala bag. Koperasi di yayasan
ini. Sudah mengajar di sini ya? Kalau begitu saya harus panggil ustazah Reni?”
“kalau begitu saya panggil juga, Ustad Tio?”
“hehehehhe” mereka pun tertawa, santri-santri lainnya heran melihat
mereka berdua.
“Ustad Tio kenal dengan ustazah Reni?” Tanya salah seorang santri.”
“oh, bukan lagi kenal. Sangat kenal malah.” Sambung Ustad Tio.
“kenal di mana?”
“ceritanya panjang, sudah-sudah jam berkunjung ke koperasinya sudah
habis, lanjutkan dengan aktifitas hafalannya.”
“baik ustad.”
“Ustazah Reni, mau beli apa? saya mau menutup Koperasi.”
“ia, baik ustad, saya hanya ingin membeli beberapa alat tulis.”
Ustad Tio pun memberikan apa yang diperlukan Ustazah Reni, sambil
menutup koperasinya.
Pertemuan itu, membuat cinta yang bersarang lima tahun lalu bersemi
kembali. Seminggu kemudian, dengan yakin dan siap, Tio segera menghubungi Kia
Jamal untuk meminta beliau mewakilinya melamar Reni. Tio berkumjung kerumah
Kiai dan menceritakan maksud kedatangannya. Kiai Jamal menyambut dan
meresponnya dengan baik dan setuju sekali. Ibu Kiai pun menyuruh Ustazah Reni
untuk mendatangi kediamannya di hari berikutnya. Ibu kiai menjelaskan panjang
lebar tentang lamaran Ustad Tio sampai Ustazah Reni mengerti. Reni pun
tertunduk malu-malu dan menjawab,
“saya bersedia bu. Tapi saya akan meminta izin pulang menemui ibu
saya di kampung.”
“Baik lah, kapan Ustazah akan berangkat?”
“besok pagi bu.”
“baiklah saya akan memberitahu Kiai.”
Malam itu, adalah malam yang membuat sendi-sendi Tio Kendur. Saat
mendengar kabar dari Kiai bahwa Reni bersedia dengan lamaran darinya. Tio pun
langsung menghubungi kedua orang tuanya yang lagi di Malaysia. Dua hari
kemudian, Tio beserta keluarga melamar Reni, di Sunda. Acara lamaran berjalan
dengan lancar dan prosesi akad nikah pun digelar. Kiai dan ibu serta beberapa
santri Pesantren menghadiri undangan pernikahan mereka.
Pernikahan mereka adalah bukti, kecintaan dua insan kepada Allah
melebihi kecintaan mereka terhadap sesama makhluk. Tamu-tamu undangan sudah
pada pulang. Ustad Tio dan Ustazah Reni masuk ke kamar pengantin. Di temaram
lampu kamar, Tio berbisik lembut.
“Reni, terimakasih telah menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada padaku. kamulah bidadari syurgaku,”
“Abang Tio, terimakasih juga telah menerimaku dengan segala
kekurangan dan kelebihanku, abanglah Imam di dunia dan di akhirat.”
Komentar
Posting Komentar