Oleh: Nur Anshari
Mentari perlahan bersembunyi di balik horizon. Aku menatap cahaya
yang sudah mulai berubah menjadi ke orenan saat cahaya itu pergi dengan mata
tanpa berkedip. Namun, cahaya itu tetap saja meninggalkan jejak silaunya dan
akhirnya menjadi gelap. Sudah saatnya kami pulang. Tapi, separuh jiwaku ku
titipkan di sini. Oh, Neng Fero.
***
15 Mei 2013
Kediaman Fero, suatu malam panggilan telpon rumah berbunyi. Bi Inem
yang tengah mengepel lantai di ruang keluarga mengangkatnya.
Polisi : “selamat malam.
apa benar ini kediaman H. Kamaruddin?”
Bi Inem : “selamat malam. Ia
benar, ada apa? Dengan siapa saya bicara?”
Polisi : “bapak ada? Kami
dari kepolisisn Sektor Lhokseumawe melaporkan dari Rumah Sakit Harapan Bunda
bahwa anak bapak Fero mengalami kecelakaan mobil dan sedang menjalani masa
kritis di ruang Gawat Darurat.”
Bi Inem : “astaghfirullah,
neng Fero. Baik akan saya segera beritahu bapak. Terimakasih pak polisi.”
Polisi : “ia Bu,
sama-sama. Saya harap pihak keluarga agar tetap sabar dan tabah. Di sini kami
masih mengawasi keadaan kalau ada apa-apa segera hubungi kami.”
Bi Inem langsung menelpon telpon seluler bapak H. Kamaruddin yang
tengah menjalani perjalanan bisnis bersama istrinya di luar kota. Dan
telepon tersambung.
Bi Inem :
“Assalamu’alaikum. Pak neng Fero kecelakaan dan sekarang sedang kritis di Rumah
Sakit Harapan Bunda.”
Pak Kamar : “Apa? Baik
segera saya pulang ke Lhokseumawe menggunakan pesawat tercepat.”
Bi Inem :
“hati-hati, pak.”
Tut…tut… terdengar bunyi telepon terputus. Bi Inem sudah kalang
kabut cemas. Ia teringat satu nomor lagi, ia mengambil catatan buku telepon dan
menekan nomornya. Telepon tersambung.
Bi Inem : “Assalamu’alaikum.
Nak Heri, nak Heri.”
Heri :
“wa’alaikumsalam. Ia dengan siapa?”
Bi Inem : “Anu, ini bi Inem.
Anu, anu. Nak heri, Neng Fero..neng Fero..”
Heri : “anu..anu..
kenapa Bi? Neng Fero, ia Neng Fero ada apa?”
Bi Inem : “neng Fero kritis
di Rumah Sakit, Nak Heri. Segera kesana sekarang juga.”
Heri : “Apa?”
Tut…tut… terdengar bunyi telepon tertutup. Bi Inem diam dan tak
berkata lagi. Ia teringat semua tentang Fero. Dengan kata-kata lembut Fero
sebelum pergi belajar bareng teman-temannya untuk final exam besok.
Fero : “bi Inem, jaga
rumah baik-baik ya, jaga ayah dan mamak juga. Fero udah senang dan mau keluar
sebentar ya, belajar dengan teman-teman.”
Bi Inem : “ia Neng, kok
bilangnya kayak neng mau pergi jauh aja?”
Fero : “hehehe.. enggak
kok Bi. Fero kan memang mau pergi jauh setelah menikah dengan bang Heri nanti.”
Bi Inem : “kan masih sebulan
lagi neng.”
Fero : “hehehe. Fero
pergi dulu ya bi. Baik-baik jaga rumah.”
Bi Inem : “ia Neng. Hati-hati
di jalan.”
Selagi bi Inem teringat dengan Fero yang pamit tak biasa itu,
tiba-tiba bel rumah berbunyi. Bi Inem berjalan menuju pintu ruang tamu. Dalam
hatinya ia bergumam. “siapa ya malam-malam begini datang ke rumah. Gak tau apa
rumah sedang kalang kabut dengan berita mengejutkan dari neng Fero.” Belum
sampai bi Inem ke pintu ruang tamu, orang yang disangka tamu itu sudah menekan
bel hampir 10 kali. Bi Inem bergumam lagi, “sabar donk.”
Setelah pintu terbuka…
Fero : “Bi Inem, bang
Heri jahat bi Inem. Dia menabrak Fero. Lantas, dompet dan uang Fero diambil.
Fero ditinggal gitu aja di dalam mobil dengan kepala berdarah lagi. Nih lihat
kepala Fero masih ada darahnya.”
Bi Inem : “Lho, kok neng Fero
udah pulang sendiri. Bukannya lagi dirawat di Rumah Sakit? Bapak sama ibu mana?
Nak Heri juga?”
Fero : “bapak dan mamak
balik lagi ke luar kota. Bang Heri Cuma ambil kunci mobil.”
Bi Inem : “kok langsung pergi
bapak dan mamak? Apa neng gak apa-apa langsung pulang kerumah? Mana masih ada
darah lagi. Sini biar Bi Inem bersihin.”
Fero : “ia, makasih bi.”
Seraya membersihkan permukaan kepala Fero yang berdarah. Bi Inem
mendengar suara telepon rumah berbunyi. Ia meninggalkan neng Fero di kamar neng
Fero. Bi Inem merasa ada yang aneh dengan neng Fero. Tapi tidak ia hiraukan.
Yang penting Neng Fero diobatin dulu.
Tangan bi Inem sudah berhasil memegang dan berbicara dengan lawan
bicara di telepon.
Rumah Sakit : “selamat
malam. Apa benar ini kediaman pak Kamaruddin? Ini dari Rumah Sakit Harapan
Bunda. Turut berduka cita, Feronika Binti Kamaruddin telah meninggal dunia,
malam tadi sehabis menjalani masa kritis. Semoga keluarga segera ke Rumah Sakit
untuk membawa pulang jenazah.
Bi Inem :
“Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. Neng Fero…” hikss…hikss… air matanya
terjatuh seperti bening embun. Wajah tuanya tampak semakin tua.
Rumah Sakit : “kami tutup
dulu. Selamat malam.”
Bi Inem : “ia,
selamat malam.“
Bi Inem terus saja bergumam dalam hati. “kasihan neng Fero, sudah
meninggal. Arwahnya masih ingat pulang ke rumah lagi. Seperti gak terjadi
apa-apa. Tapi, nak Heri.” Ia saya harus segera bertanya detilnya pada neng
Fero.
Saat bi Inem masuk kamar neng Fero. Ia sudah berdiri. Mengucapkan
selamat tinggal.
Arwah Fero : “Bi Inem,
Fero sayang bibi. Jaga bapak dengan mamak ya. Jangan khawatirkan bang Heri, ia
sudah ditangkap polisi kok. Selamat tinggal bibi.”
Bi Inem :
“maafkan bibi ya neng Fero. Gak bisa jagain neng Fero dengan baik.”
Arwah Fero : “gak kok
bi. Bibi sudah cukup baik membesarkan Fero dari kecil. Jangan kesepian ya bi.
Da…da…”
Bi Inem : “Neng
Fero…” sambil tersungkur di lantai. Melihat hilangnya bayangan Fero ditelan
gelapnya malam.
Setelah perpisahan itu, telepon berbunyi. Ini dari Polisi. Polisi
memberitahukan kalau Heri Sudarma yang telah menabrak lari Feronika. Kemudian
mengambil dompet dan uang milik korban. Tersangka sudah diamankan ke kantor
polisi. Besok akan diinterogasi. Bi Inem mengucapkan terimakasih banyak pada
polisi.
Sejam kemudian bapak dan mamak neng Fero serta bi Inem baru tiba di
Rumah Sakit. Menangis pilu melihat jenazah Fero yang sudah terkulai di atas
kasur itu. Mata beningnya masih terlihat segar. Tangannya beku namun masih
merona. Bi Inem menulis kisah-kisah
bersama anak majikannya dalam diary-nya. Ia menuliskan judul diary itu, “Jika
Teringat Tentang Dikau.”
Komentar
Posting Komentar