Oleh: Nur Anshari
Sudah hampir sebulan aku,
Juminten dan Halimah menjalani kehidupan di kampung orang. Musim koh padee
hampir habis. Terlihat dari pandangan mata, area persawahan yang sudah gundul
dari padi. Beberapa warga telah melakukan pemotongan padi hampir serentak. Tapi
ada juga beberapa sawah yang padinya masih nangkring di sawahnya.
Kegiatan kami mengajar anak-anak sudah hampir puncaknya. Aku,
Juminten dan Halimah masih antusias mengajarkan mereka beberapa pelajaran
penting di bidang bahasa dan agama. Tapi, akhir-akhir ini semangat anak-anak belajar
harus ditepis dengan kesibukan mereka di sawah. Beberapa hari terakhir aku
melihat Saipul, salah satu murid didikan kami tengah duduk di atas mobil Chevrolet
(mobil bak terbuka) bersama anak-anak muda yang tampak lebih tua darinya.
Suatu malam, saat keluarga Dudi (Dudi, Saipul, Fifi, dan Kiki)
datang bermain di TK tempat kami menginap. Baru sepuluh atau lima belas menit
mereka bermain, tiba-tiba Saipul menoleh ke jalan yang dilintasi oleh mobil Chevrolet.
Saipul berlari ke arah Chevrolet itu dan menaikinya. Aku heran dan penasaran. Lantas,
langsung saja aku bertanya pada adiknya, Dudi.
Aku : “Dudi, Bang
Saipul ho neu jak ek Chevrolet? (Dudi, Bang Saipul mau kemana naik Chevrolet”?
Dudi : “yak angkot padee,
kak.” (mau angkat padi kak)
Aku : “kok malam-malam.?”
Dudi : “karena yak bantu
mentong kak.” (karena mau bantu aja kak)
Aku diam saja melihat pemandangan itu. Apalagi setelah mendengar
jawaban adiknya yang masih duduk di bangku SD kelas dua.
Saipul murid yang cerdas. Ia duduk di bangku SMP kelas 1. Beberapa
hari sebelum ia turun ke sawah aku yang mengajar. Teman-temanku, Juminten dan
Halimah juga berpendapat sama denganku, bahwa Saipul anak yang cerdas. Kulitnya
hitam legam seperti temannya Adin. Kalau diperhatikan, kisah kehidupan Saipul
dengan Adin hampir sama. Sama-sama menghabiskan waktu untuk hal yang bermanfaat
bagi keluarganya, namun sayangnya kurang memperhatikan nasibnya sendiri.
Saipul bertempat tinggal di samping TK yang kami tinggali. Ia termasuk
anak yang ramah. Dengan raut wajah yang lonjong, badan yang kurus dan kecil
untuk anak seusianya, namun punya jiwa tanggung jawab yang tinggi. Ia adalah
anak sulung di keluarganya. Punya tiga adik, satu yang laki-laki tengah duduk
di bangku SD kelas dua yaitu Dudi, dua lagi perempuan yang masih TK dan yang
masih kecil umurnya sekitar tiga tahun.
Demi membantu kedua orang tuanya, Saipul sering absen belajar
dengan kami. Sayang sekali, karena ia murid yang cerdas. Daya tangkap dan
ingatannya kuat. Termasuk kebanggaan kakak dan abang KPM. Tapi, itulah
tantangan kehidupannya. Saat aku bertanya beberapa kali dengannya.
Aku : “Saipul, rangking
padup di rumoh sikula?” (Saipul, rangking berapa di rumah sekolah?)
Saipul : “rangking sa, bu”
(rangking satu bu)
Aku : “mantap,
pertahankan beuh” (mantap, pertahankan ya)
Saipul : hehehe ( ia hanya
tertawa) saat tertawa seperti itu ia terlihat manis. Gigi putihnya berjajar
rapi.
Aku : “pue cita-cita
Saipul” (apa cita-cita Saipul?
Saipul : “pelukis bu.”
Aku :”got that, belajar
beu rajin beuh. Moga jeut keu pelukis terkenal.
Saipul : “Tapi awak long
han ek jak merantau. Di sino mentong” (tapi, saya tidak mau keluar, mau di
kampung ini saja).
Aku diam saja saat Saipul berkata begitu. Sore itu, setelah
percakapan membuat suasana hening. Aku tak banyak bisa berkata. Pola pikir
Saipul mungkin sudah tersusun dengan rapi. Rencana masa depan yang dia inginkan
sudah tertata rapi. Tinggal menunggu nasib apa yang akan menimpanya kelak.
Sore itu berlalu, malam menjelang. Cahaya rembulan bersembunyi
dibalik awan. Seperti pertanda hujan. Namun sudah malam pukul delapan hujan
belum juga turun. Keluarga Dudi datang ke TK seperti malam kemarin. Kali ini
dengan limit waktu bermain yang lama. Pukul 10 mereka belum pulang. Ini bukan
seperti biasanya. Juminten heran dan bertanya pada Saipul.
Juminten : “pakon
trep that neu wo u rumoh. Ka larut malam nyoe” (kenapa lama pulang ke rumah,
ini sudah malam.”
Saipul : “uroenyoe
mak long jak rumoh saket, mak long teungoh saket bak ulee.” (malam ini, mamak
pergi ke rumah sakit. Karena kepalanya sakit.”
Juminten : “oh
meunan. Moga bagah puleh mak Saipul beh.” (Semoga cepat sembuh mamak saipul ya)
Saipul hanya menjawab dengan anggukan. Sebungkus kerupuk yang ia
suapkan pada adiknya sudah hampir habis. Adiknya yang masih berumur tiga tahun
tidak rewel di pangkuan Saipul. Anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Menjaga
adik-adiknya dengan baik. belajar dengan rajin. Ia juga senantiasa membantu
kedua orang tuanya. Tapi hampir melupakan kewajibannya untuk dirinya sendiri.
Sungguh berbeda sekali jika kita berada di posisi Saipul. Ditengah kesibukannya
belajar sebagai siswa, ia merangkap sebagai mitra kerja ayahnya yang kuat
mengangkat padi, menjadi baby sitter ibunya yang ramah dan penyayang dalam
menjaga adiknya. Dan menjadi jagonya si kutu buku jika di sekolah. Semua ada
dalam satu paket bernama Saipul.
Karena dalam diamnya, ia mencintai keluarganya. Dalam diamnya ia
mencintai cita-citanya. Dalam diamnya ia mencintai apa yang sudah diajarkan
gurunya. Serta dalam diamnya ia mencintai Allah yang telah menciptakan dan
mengirimkannya dalam keluarga itu. Semoga kita bisa meniru kebaikan dari sosok
Saipul yang tidak mengeluh dengan keadaan yang digelutinya. Tidak mudah
menyerah dengan banyaknya kegiatan setiap harinya.
Tidak mudah rapuh dalam setiap musibah yang dihadapi. Dan tidak
pernah merasa sendiri walaupun di saat sulit sekalipun. Karena Allah senantiasa
memberikan dan meletakkan sesuatu yang mampu kita lakukan dan jalani. Jangan pernah
mengeluh, karena Islam itu tegar. Untuk mereka yang diam karena sayangnya.
*diadaptasi dari kisah nyata. Nama disamarkan.
Nur Anshari, Aceh Utara.
Keren sekali!
BalasHapusNamun dia ingin tetap di sana:)
makasih kak ade :-). ia, ia tetap akan di sana. :-)
Hapus