Bukan Bocah Biasa


 Oleh : Nur Anshari 

Diam. Kepalanya menunduk kebawah. Matanya yang sayu sesekali menatapku. Kulitnya yang hitam menambah semburat raut kesedihan di wajahnya. Seperti ada beban yang sedang dipikulnya. itu kesan pertama saat aku melihat anak itu. Ia adalah anak kedua di keluarganya. Umurnya baru sekitar 8 tahun. Adiknya yang belum masuk sekolah kadang kala ikut bermain bersamanya. Mengisi hari-hari seringnya di sawah dan TK. Keluarga, teman sebaya dengannya, dan beberapa orang yang menyayangi. 

Aku tahu beberapa hal tentang dia. Setelah beberapa kali aku melihatnya. Saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku hanya melihatnya sebagai anak SD yang akan aku ajarkan. Hal yang biasa terlintas saat pertama mengajar. Aku dan dua temanku, Juminten dan Halimah mengajarkan anak-anak di gampong tempat kami mengabdi. Termasuk dia. 

Suatu pagi, di saat matahari telah bersemangat membangunkan penduduk bumi untuk menjalankan aktifitasnya. Saat itu juga Adin bersemangat mengubah masa depannya.

Adin      : “Ayah, Long jak Beuh.” (Ayah, saya pergi dulu)

Ayah      : “Jeut neuk. Be Got Got beuh.”( ia nak. Hati-hati ya)

Kehidupan Adin memang seperti anak biasa pada umumnya. Ia sekarang kelas tiga di sebuah sekolah dasar di Dewantara, Aceh Utara. Pagi setelah matahari terbit, ia menaiki motor yang dibawa oleh ayahnya bersama adik dan kakaknya. Adin termasuk anak yang rajin pergi ke sekolah. Walaupun berasal dari keluarga yang sangat biasa Adin tidak mempermasalahkan. Tugas belajar tetap ditempuhnya dengan semangat.

Tak jauh berbeda, selain rajin pergi ke sekolah menuntut ilmu. Adin berjiwa besar. Banyak hal yang sudah dipikirkannya di usia yang muda itu. Ayahnya yang bekerja campur-campur. Mulai dari jak u blang, mencetak bata, dan menggembala lembu. Adin sadar, ia adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga, sementara beban hidup semakin besar seiring dengan pendidikan mereka. Adin pun ikut membantu kedua ayahnya. Menggembala sapi. 

Suatu siang, Gugun menghampiri.

Gugun    : “yak, ta Maen PS.” (yuk kita main PS)

Adin      : “Meah Beuh. Long Yak angkot Tanoh ke Akak” (Maaf ya. Aku mau angkut tanah untuk kakak)

Gugun    : “Siat Mentong Hay. Long hana Ngon nyoe. Pengon Long Mentong.” (sebentar aja. Aku gak ada kawan. Kawanin aku aja)

Adi        : “Hanjeut Long.” (saya tidak bisa)

Gugun    : “Kakeuh Lah. Long jak keuroe mentong.” (yasudah. Saya pergi sendiri saja).

Aku mengetahui percakapan itu, saat Dewi teman yang tinggal di sebelah rumah Adin bercerita. Dewi, yang saat itu sedang aku ajarkan di pengajian memberitahu kami kalau Adin tidak bisa pergi pengajian karena ia harus mengangkut tanah untuk dicetak kakak Adin. Aku tertegun mendengarnya. Aku juga prihatin pada anak yang bermain PS disaat ada pengajian. Sungguh berbeda jauh sifat satu anak dengan anak lainnya.

Kesan pertama yang kurasakan untuk Adin itu sudah begitu dewasa memaknai kehidupan. Berbeda sekali dengan yang kujumpai di beberapa kota yang pernah ku singgahi. Ada anak yang kerjanya hanya menghabiskan waktu untuk di PS tanpa memikirkan kesusahan mencari uang yang dirasakan oleh kedua orang tuanya. Ada pula yang hanya bisa duduk rapi menatap layar kaca computer alias warnet hanya untuk sekedar bermain game. Tapi tidak buat Adin. Walaupun kawan-kawannya ada bermain PS untuk mengisi hari-hari. Adin tidak terpengaruh. 


Waktu yang ia punya sudah penuh. Belum lagi ia harus menjaga adiknya yang masih di bawah umur TK bila ayahnya pergi. Sambil menjaga adik kadang ia juga mengangkat tanah untuk dicetak kakaknya. Tapi ia tak pernah mengeluh. Kadang kala ia mengangkut tanah itu dengan kaki telanjang. Suasana desa yang panas terik mentari tak menyurutkan semangatnya untuk menggembala sapi tanpa berlandasarkan alas kaki. Berjalan di atas aspal yang tidak tahu deraja panasnya berapa mengangkat Derek berisi tanah. Tanpa berdesah.

Aku sedikit tersentak. Kadang kala aku pernah mengeluh dengan kesulitan yang kuhadapi. Aku masih beruntung kesulitan itu tak sampai membakar tubuhku dengan panasnya cahaya matahari. Seperti yang dirasakan Adin. Wajar kalau kulit Adin agak gelap, itu bukti kerja kerasnya untuk dirinya dan keluarganya. 

Adin, kejarlah prestasi. Terus semangat. Tantangan hidup bukan halangan untuk mengukir impian dan meraihnya. Kakak yakin aka nada jalan untuk kesuksesanmu. Karena budi pekerti dan kesopananmu membuat keluarga menjadi lebih berarti dengan kehadiranmu. Jangan pernah lupakan jasa orang tua.

Semoga dari cerita ini, anak-anak diseluruh dunia bisa mengerti arti tanggung jawab dalam kehidupan. Semuda apapun kalau memang berjiwa tanggung jawab maka ia akan senantiasa membantu apa yang bisa ia bantu. Ia adalah Adin. Bocah kecil yang menginspirasiku untuk terus berjuang dalam menggapai impian. Terus belajar ya Adin. Kakak akan selalu mendukungmu.


diadaptasi dari kisah nyata, nama disamarkan. 
Nur Anshari, Aceh Utara.

Komentar

  1. si Adin menyentuh menginspirasi... :'( (y) love this.... tekadnya menguatkan qt!

    BalasHapus
  2. iya, Yuni, kak salut sama Adin

    BalasHapus

Posting Komentar