Maret, 2010
Mimpi. Setiap orang pasti memilikinya. Termasuk juga aku. Gadis 17
tahun yang tengah duduk di bangku Madrasah Aliyah salah satu kota kecil ujung Sumatera. Sekolah
yang lumayan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Siswa-siswi yang ramai berkerumun
di sekolah itu, berprestasi namun tidak berasal dari kalangan ekonomi atas.
Sedangkan Teman-teman Madrasah Tsanawiyahku dulu, berlatar belakang dari
keluarga mampu.
Teman-teman Tsanawiyahku
memiliki rencana melanjutkan studi ke ibu kota Provinsi yang terkenal
dengan kualitas pendidikan yang lebih bermutu. Ada pula dari mereka yang bahkan
berencana kuliah di luar pulau. Sungguh impian yang kuinginkan. Sedangkan
teman-teman Madrasah Aliyahku tak memiliki kesempatan seperti mereka. Kami,
yang berlatar belakang keluarga yang pas-pasan hanya bisa melanjutkan studi di
kota sederhana tempat kami dibesarkan. Hanya mimpi belaka bisa kuliah, melanjutkan studi ke perguruan
tinggi di ibu kota provinsi bahkan di luar kota sekalipun.
Tapi, aku berpikiran lain. Bukan berarti anak kampung tak boleh
bermimpi. Mimpi tetap kugenggam erat dalam setiap langkah dan doaku. Beberapa
guru di MA (Madrasah Aliyah) banyak memberikan motivasi kepada siswa-siswanya bahwa
belajar di mana aja tidak masalah yang penting prestasi tetap harus diraih.
Namun, aku ingin keduanya. Belajar bisa dimana saja asalkan
pengalaman keluar daerah bisa kurasakan. Sekarang aku menginjak tahun ke-tiga
studi. Ujian Nasional juga sudah di ambang pintu. Usaha, doa, serta dukungan
dari keluarga terus mengalir bersamaku.
“Nak, esok saat Ujian Nasional jangan lupa berdoa sebelum menjawab
ya” seruan lembut mamakku saat menjelang tidur.
“ia, bu. Doakan Sari semoga bisa jawab dengan baik” sambutku dengan
memegang tangannya.
“doa Mak selalu menyertaimu, nak”
“makasih Mak”
Dua minggu lalu, malam itu. Aku sedang membuat tugas untuk
dikumpulkan esok harinya. mamak dan ayahku sedang membicaraan tentang masa
depanku.
“Ayah, Sari dua minggu lagi Ujian Nasional, setelah itu Sari kita
kuliahkan dimana?” tanya mamakku
“Ayah tidak sanggup membiayai kuliahnya di luar, mak. Di sini saja
ya”
“ia ayah, tidak apa-apa.
Asalkan Nanda rajin belajar, kuliah dimanapun tetap bisa juga. ibu cuma bisa
mendoakan untuk kebaikan Sari”
Aku tak sengaja mendengar percakapan itu, batinku tersengat. Aku
harus berusaha mendapatkan bantuan agar bisa kuliah di luar. Mimpiku tetap
harus diperjuangkan. Dua hari setelah percakapan itu aku mendatangi warung
internet. Mem-browse semua daftar beasiswa. Nasib belum berpihak padaku,
tanggal pendaftaran beasiswa untuk program pendidikan Strata satu sudah lewat
batas tanggal pendaftaran. Seminggu
kemudian, aku sempat menanyakan pada guru-guru Madrasahku tentang beasiswa dari
gubernur Provinsi. Tapi, dengan wajah lesu gurupun menjawab.
“Sudah diserahkan kepada siswa lain nak.”
Usahaku belum membuahkan hasil. Namun aku tak peduli. Aku terus
berharap semoga masih ada beasiswa lainnya.
Ujian Nasional tiba. Pagi mendebarkan itu, aku bersekolah seperti
biasa. Dengan langkah kaki dan menjinjing tas seperti hari-hari kemarin. Tak
ada firasat apapun. Aku harus ingat pesan mamak. Berdoa sebelum menjawab soal.
Tiga mata pelajaran Ujian Nasional sudah berjalan dengan baik hari ini. Aku
bisa menjawab hampir 80 persen, selebihnya aku tak mampu lagi berpikir.
Kuserahkan semua kepada Sang Maha Mengetahui, Allah. Alhamdulillah dua hari
berikutnya, aku bisa menjawab hampir 90 persen.
Hingga sampai pada hari ujian terakhir dari studi Madrasah
Aliyahku. Pagi pun tiba seperi hari-hari sebelumnya, sinar matahari juga tak
berbeda dengan kemarin. Burung-burung pun masih rajin berkicau menyambut siswa/siswi.
Tapi, hari itulah yang merubah hidupku. Mimpiku mulai membawaku terbang ke
dalamnya. Pengumuman beasiswa Strata Satu di salah satu Perguruan Tinggi Ibu Kota
Provinsi di tempel di dinding depan ruang Tata Usaha. Aku begitu terperanjat.
Kubaca kata perkata dari sederetan kalimat di brosur itu. Hatiku berdegub
kencang. Batas pendaftaran tinggal seminggu lagi. Tapi, aku ragu-ragu. Tiba-tiba,..
“Sari, kok bengong?” sambil memukul pundakku Tia bertanya dan
mengagetkanku.
“Eh, Sari. Ehm anu, ada beasiswa Strata satu di salah satu
Perguruan Tinggi Ibu Kota Provinsi, tapi aku gak yakin bisa ikut karena batas
waktunya tinggal seminggu lagi.”
Aku menceritakan pada Tia tentang beasiswa. Disusul Reva yang
menghampiri saat aku sedang berbicara dengan Tia. Reva pun mendengarkan dengan
baik.
“Tanya aja langsung dengan kepala sekolah gimana cara daftarnya.
Kamu mau ikut kan?” timpal Tia
“Ia mau kali. Tapi, aku takut Rev.”
“Sudah, jangan takut. Kamu harus berani.” Sambung Reva
“Makasih ya, teman-teman”
“Ia sama-sama, kami masuk ke kelas duluan ya.”
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung masuk ke ruang guru. Mencari
seorang guru yang paling bisa diandalkan. Kepala sekolah dengan ramah
menyambutku.
“Ada apa Sari, mari masuk?” Pak Seno menyapa saat melihatku masuk
ke ruangan guru.
“Pak, apa benar pengumuman yang ditempel di depan? Saya ingin
mendaftar program beasiswanya”
“Benar Sari, tunggu ya bapak ambil formulirnya di bagasi mobil,
kemarin baru bapak dapatkan di kantor Kementrian Agama”
“Baik pak”
Sepuluh menit kemudian,
“Sari setelah semua berkas diurus langsung jumpai Pak Aji ya, minta
dibuatkan surat rekomendasi dari sekolah. Jangan lupa kasih tau kawan-kawan
yang lain. Ini kesempatan untuk kuliah di luar ya. Pulang dari sekolah
formulirnya langsung difoto kopi”
“Baik pak Aji, terimakasih pak. Doakan saya ya pak.”
“Semoga sukses Sari, bawa nama harum sekolah kita.”
“Ia Pak.
Ujian hari itu, memberikan berjuta magnet kekuatan. Soal-soal
dengan mudah dapat kujawab. Aku senang bukan main. Formulir beasiswa perguruan
tinggi yang aku idamkan berada di tanganku. Saat istirahat aku memberitahukan
kepada teman-teman. Aku tidak menyangka ternyata mereka tidak satupun yang
tergerak dengan formulir di tanganku. Aku sempat kecewa. Sama siapa aku akan
berjuang mengurus persyaratan beasiswa ini? Aku seperti mendapat batu godam di
pundak. Aku harus mengurusnya sendiri tanpa teman Karena hari itu, hari terakhir
sekolah bagi anak kelas tiga.
Selama Seminggu dengan berpeluh-peluh keringat, berjuta doa dan
harap. Usahaku mencapai puncak. Semua berkas telah disiapkan. Tak ada yang
kurang. Termasuk dukungan dari segenap keluarga mengantarkanku mencapai titik
terkuat. Aku melawan segala rintangan, mulai dari sendirian mengurus berkas
dari foto kopi hingga tanda tangan. Mulai dari mengurus ke bagian administrasi,
hingga mengurs pernyataan kesehatan. Berakhir pada mengurus lembar persetujuan
ke pihak kepolisian. Semua kulakukan sendiri, dengan berkeyakinan bahwa Allah
selalu menolong dan bersamaku.
\Syukur alhamdulillah semua berjalan lancar. Aku sempat kawatir,
siapa yang akan mengantar berkasku ke perguruan tinggi yang dituju? Ternyata
Allah memberi jalan. Abang kandungku memesan tiket tiga hari sebelum berkasku
selesai diurus. Setelah berkasku siap, abangku sudah berada di ibu Kota
Provinsi. Aku mendapat kesempatan di setiap kesempitan. Dengan menggunakan L300
(salah satu angkutan ke ibo kota provinsi). Seminggu sudah berlalu sejak
berkasku dikirim. Aku hanya tinggal berdoa dan tak henti-hentinya berdoa.
Sebulan kemudian,
“Sari, besok perpisahan kelas 3, kita kompakan pakai baju warna
apa?” seru Reva disela-sela jam istirahat saat menghadiri undangan beberapa
event lomba di sekolah.
“Iya nih, biar seragam kita, kalau warna biru gimana? Timpal Tia.
“Aku gak punya baju warna biru, kalau pink?” sambungku.
“Kalau pink aku ada” seru Fina
“Aku gak punya. Kalau coklat muda?” jawab Tia dan Reva
“Aku ada. ” jawabku dan Fina
“Oke. Yuk kita jajan ke kantin.”
“Ayuuuk”
Berdiskusi menyambut hari perpisahan. Sempat membuatku sedih karena
akan berpisah dengan teman-teman. Aku pun senang karena akan melanjutkan studi
ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tak pernah lagi terbesit dan teringat dengan
formulir yang kukirim dulu. Aku tetap berharap aku lulus Ujian Nasional dan
lulus beasiswa. Hampir setiap malam tahajjud yang membuatku tenang dan kuat
menghadapi segala rintangan. Doa berbaris keyakinan tak henti mengalir. Walau
kesempatan itu semakin kecil terlihat.
Keesokan paginya, acara perpisahan Madrasah Aliyah yang akan
melepaskan hampir seratus siswa-siswi kelas tiga yang tercatat tahun itu. Acara
dimulai dari pembukaan dengan serangkaian prosesinya. Selanjutnya tiba saat aku
berdiri di atas panggung, mewakili teman-teman untuk menyampaikan kata-kata
terimakasih dan perpisahan. Aku tak bergetar. Langkahku mantap sekuat tiang
panggung yang menyangga. Aku berbicara kadang lantang kadang sayu penuh haru.
Teringat dengan usaha-usaha dan kerja keras guru mendidik kami. Tapi, kebal
setergar karang saat mengatakan kata-kata perpisahan, tak menghasilkan bulir
bening yang berjatuhan dari kedua bola mata. Supaya, tak menambah kesedihan di
hati guru dan siswa. Itu niatku.
\
Sehabis itu, giliran guru yang memberikan kata-kata selamat jalan
untuk kami. Nah, saat sesi ini, air mata tak mampu dibendung. Pikiranku
berkecamuk terbang menerawang. Teman-teman ada yang menghabiskan beberapa tisu
untuk menghapus air mata. Hal ini jelas terlihat karena betapa berharga dan
berjasanya guru bagi kami. Berakhirlah acara setelah beberapa guru dan siswa
menyumbang lagu. Aku pun tak kalah dalam acara ini, berdiri dengan sopan di
atas panggung bersama sahabatku, Tia. Bernyanyi dengan merdu walau agak malu. Hari
perpisahan itu menjadi kenangan indah di hidupku.
\
Dua minggu kemudian, berita menghebohkan hadir di keluargaku. Aku
mendapat kabar gembira yang begitu gembiranya aku sempat menangis. Institut
Agama Islam Negeri Ar-Raniry yang kini telah menjadi Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry mengirimkan berita itu. Kelulusanku telah melayang lewat telpon dan
surat kelulusan resmi di sekolah. Sedemikian itu juga, pengumuman Ujian Nasioan
sehari sebelumnya telah kuterima, dan aku lulus pula.
Dua kebahagiaan yang berdekatan meraup hari itu. Ayah dan ibuku
begitu senang, karena anaknya lulus Ujian Nasional beserta beasiswa penuh ke
Universitas Ibu Kota Provinsi Aceh, yaitu Banda Aceh. Perjuangan, air mata,
peluh penat, dan kesendirian telah tergantikan dengan berita gembira ini. Satu kunci
yang dapat kubagikan pada semua, jangan pernah berhenti mengejar mimpi.
April, 2014
Aku menulis kisah ini, berdasarkan kisah nyata kehidupanku saat
hendak memperjuangkan program Beasiswa Bidik Misi di Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry (duunya masih Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry) ibu kota
provinsi, Banda Aceh. Kisah ini diabadikan menjadi sebuah fiksi berdasarkan
kisah nyata saat aku sedang menginjak semester delapan Prodi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Mimpiku kuliah di ibu Kota
berhasi kuraih, atas izin-Nya. Sebentar
lagi, tepatnya Agustus semoga aku dapat mengikuti proses Wisuda Sarjana dengan
gelar, S.HI (Sarjana Hukum Islam).
Oleh Karena itu, kejarlah cita-cita. Biarpun kita berasal dari kampung sekalipun. Sendirian sekalipun. Bahkan tak mampu sekalipun. Ingat, mimpi itu milik kita, dan kitalah yang mampu mewujudkannya, tentu atas izin dari-Nya. Yakinkan, biarpun kamu seorang perempuan sedang kamu sendirian, kamu pasti bisa melakukannya.
Selamat berjuang, nikmati moment demi moment dengan penuh rasa syukur :-)
BalasHapusia, tetap semangat!
Hapus