45 days



Oleh: Nur Anshari
Kalau di Korea, ada film yang berjudul 49 days. Aku juga punya cerita 45 hari. Tapi cerita 45 hari dariku agak berbeda dengan cerita di Korea. Aku akan menceritakan kisah yang berbeda dari yang lain selama di kampung orang, tanpa mamak, ayah, kakak, abang, adik, dan teman yang mengenalku. Waaa…merantau selama 45 hari.

Saat aku menulisnya, waktuku tinggal seminggu lagi di sini. Susah senang sudah kami lewati bersama. Mulai dari perkenalan yang tidak kondusif, di situ sampai tujuan saat itu pula baru kenal. Di saat jauh dari orang tua, di saat tak ada tempat lain yang bisa berteduh selain di TK ini, teman-teman inilah yang menjadi tempat berbagi. Mau tau cerita gimana perjalanan kami berlima (aku, Raudhatun Nafisah, Farhati, Junaidi Saputra dan Khaidir) di desa yang menjadi tempat tinggal kami sebulan terakhir ini? Cekidot.

Pukul 16 lewat dikit kami tiba di kantor camat Dewantara. Kakiku tepat berdiri di atas bumi Aceh Utara. Kesan pertama “panas”. Karena terik mentari di sebelah barat sangat menyilaukan waktu itu.
Aku turun bersama teman semobil dan sekelompok denganku, Oja panggilan akrabnya. Tampak terlihat mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah tiba juga sedang berkumpul di depan halaman kantor camat Dewantara. Aku dan Oja berteduh di bawah pohon, dan bertemu Farhati yang sekelompok juga dengan kami. Baru bincang-bincang dengan teman sebentar, rombongan lainnya tiba serentak.

Sekitar dua puluh menit berkumpul di sana, plus bertatap muka juga mendengarkan pesan-pesan dari Rektor UIN Ar-Raniry dan penyerahan kepada kecamatan, dan geuchik di gampong-gampong yang ada di  Dewantara, tibalah waktunya pembagian kelompok ke desa yang telah ditetapkan. Aku, Oja dan Farhati juga bertemu dengan dua teman laki-laki yang sekelompok dengan kami juga dengan geuchik desa yang akan kami tinggali.

Kesan pertama berkumpul berlima di desa ini terasa kaku. Kami tidak saling mengenal satu sama lain, soalnya beda-beda fakultas. Masing-masing fakultas saja memiliki beberapa jurusan, wajar saja kami tidak saling jumpa/kenal. Dua teman laki-laki yang baru bertemu itu bernama Junaidi dan Khaidir. Mereka terlihat kaku juga melihat kami bertiga. Jadi, sama-sama kaku. Hehehehe. 

Bu sekdes mengantarkan kami pergi menuju desa yang dituju. Dari kantor camat membutuhkan waktu sekitar 10 menit menuju gampong itu. Junaidi dan Khaidir menggunakan sepeda motor masing-masing, sedangkan kami bertiga menggunakan becak. Bisa dibayangkan, koper ada tiga, semua diletakkan di atas becak di belakang kami duduk. Ih waw.

Di sepanjang perjalanan kami melihat stasiun kereta Api. Wah, pertama kalinya bagiku  melihat kereta Api di Aceh, dan semoga bisa menaikinya nanti. Hehe insyaAllah. Lanjut cerita, setiba di gampong kami berhenti di Menasah. Sunyi senyap menasahnya. Seperti tidak ada kehidupan. Huh, menghela nafas dan meletakan sebentar koper di kantor geuchik. Kami mencari air untuk berwudhu dan shalat Ashar. Sungguh disayangkan air tidak ketemu. Lalu, kami memberanikan diri mengunjungi tetangga terdekat untuk numpang ke sumur. Alhamdulillah diberi izin, dan kami berwudhu di sana. Warganya ramah.

Selagi kami sedang shalat, geucik dan dua teman kami sedang pergi menuju tempat yang akan kami tinggali nanti. Selesai kami shalat, kami langsung diantar ke tempat itu pula. Tak disangka, kami tinggal di ruang guru di Sekolah TK. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan aku tidak bisa menjelaskan detilnya kenapa kami tidak tinggal di rumah gecik seperti KPM-KPM lainnya. Sekolah TK-nya masih baru, sepintas terlihat aman-aman saja. Kuncinya bagus, ada kamar di dalamnya lengkap dengan kamar mandi. Kami tak berani protes kenapa kami tinggal di sini, dan menghadapi situasi ini dengan senyuman saja. 

Dalam hati aku bergumam, episode baru kehidupan KPM telah dimulai. Hanya dengan bersandar kepada Allah kami akan mampu melewati masa-masa sulit ini. Bisa dibayangkan, saat kami pertama kali tiba tidak ada fasilitas tidur yang nyaman, Cuma ada tikar dan bantal. Kamarnya juga tidak ada jendela. Rumah tanpa jendela menjadi hunian kami selama sebulan setengah. Aktifitas memasak tidak bisa dilakukan baru setelah orang tua Oja berkunjung dan membawa perlengkapan masak seperti kompor, wajan, dll. Alhamdulillah. 

Aku sempat kawatir dengan situasi yang terjadi. Merasa pesimis. Tapi, ipesimis harus segera ditepis. Karena ada hal lain yang terasa menyenangkan karena punya teman-teman sekelompok seperti mereka. Kami berdiskusi tentang kehidupan yang akan dijalani bersama-sama selama sebulan setengah. Musyawarah mencari jalan keluar atas kesulitan-kesulitan yang menghadang. Solusi ditemukan, dan dijalankan dengan baik. Kewajiban dari kampus juga dilaksanakan. 

Aku mencoba mandiri seperti mereka. Saling membantu di saat perlu bantuan. Itulah kelompok kami. Masing-masing kami punya keahlian tersendiri, ada yang mahir buat film, pintar bahasa Arab dan Inggris, kaligrafi dan khatnya juga oke, juga ada yang hafizah pula. Sementara aku belajar dari keunikan dan keahlian mereka dengan menulis kisah ini. Bahkan ada pula kami berdebatnya. Wahahaha… yang ahli debat ada juga.

Saat kami tengah berdiskusi, ada saja bantahan dan sanggahan. Ada yang bilang A lalu di tolak dan bilang C. tapi, hasil akhir tetap dimusyawarahkan dan tidak sampai ada pertikaian. Di saat yang satu kesulitan yang lainnya membantu dengan ikhlas. Hehehe. pengalaman membersihkan TK dengan mencangkul rumput-rumput tinggi merupakan pengalaman pertamaku. Memegang cangkul saja aku tak pernah. Sampai-sampai kami juga terjun ke sawah. Asli, pertama kali juga dalam hidupku. Sedikit merasakan sulitnya jadi petani karena setengah hari bermandikan keringat dijemur matahari. Sebutir padi begitu berarti.

Hal-hal tersebut tidak akan pernah kujumpai di Banda Aceh, maka di sinilah tugasku sebagai tuntutan tri darma perguruan tinggi untuk mengabdi. Dengan senang hati kulakukan karena kami bersama-sama melakukannya. Kami juga menanam bunga dengan anak-anak di kampung ini. Mengajar anak-anak di sini, dan membangun desa di sebagian sector. Serta program lainnya yang tidak bisa aku ceritakan di sini. 

Pengalaman tinggal di gampong sangat berbeda dengan pengalaman saat kuliah masuk ruangan. Bedanya, kuliah masuk ruangan hanya bertemu dengan dosen, teman dan buku. Sedangkan kuliah pengabdian aktifitasnya jauh sekali berbeda. Kita bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Kami sering menjumpai anak-anak yang bekerja keras membuat bata dan anak itu masih sekolah. Aku juga melihat bapak-bapak yang banting tulang mencari nafkah hingga kulitnya hitam legam kayak orang dari Timur Tengah. 

Melihat dengan langsung kehidupan gampong yang jauh dari perkotaan dan gaya-gaya anak kota yang alay. Syukurlah di sini anak-anaknya masih polos dan bersih dari pengaruh mode fashion dan alay. Berkumpul dan mendampingi mereka selama sebulan ini memberiku banyak pelajaran. Pelajaran yang didapat Mulai dari belajar untuk giat bekerja, pantang menyerah, dan setia dengan keluarga. 

Tentang kisah-kisah anak luar biasa itu sudah aku tuliskan dalam blog-ku. Dibaca juga yah. Walaupun lebih banyak kesusahan dan kesedihan yang kami hadapi. Tapi kami yakin ini salah satu tantangan yang kami bisa lewati karena Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak mampu diatasi oleh hamba-Nya. Ingatlah surat al-Insyirah ayat 6 yang artinya “sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.”

Teman, terimakasih sudah menjadi bagian dari pengalaman berhargaku. Tulisan ini hanya sebagai symbol agar kisah kita akan tetap terkenang. Karena mengenal kalian membuatku banyak belajar arti pengorbanan, persahabatan, dan rasa kekeluargaan.
                                                  
                                                                           Aceh Utara, 21 Mei 2014
                                                                           Nur Anshari
                                                  

Komentar