Senyuman Dudi



Oleh: Nur Anshari

Tepat pukul 15.00 WIB aku mengenakan pakaian rapi, ditemani oleh dua orang teman KPM bernama Juminten dan Halimah. Seperti hari sebelumnya, kami mengenakan pakaian rapi untuk bertandang ke Meunasah. Ada bocah-bocah polos nan lugu sedang menunggu kehadiran kami. 

Ya, sehari sebelumnya kami sudah memberitahukan kepada anak-anak saat perkenalan kalau mereka akan kami ajarkan selama 45 hari kedepan dengan materi belajar yang kami ajarkan. Saat hari pertama tersebut aku melihat anak-anak yang patuh. Tak banyak berbicara, mendengar dengan takzim namun mengerti apa yang diucapkan. Sopan santun dan adab yang masih terjaga dengan baik. Kesan pertama yang luar biasa.

Hal yang mungkin sudah mulai memudar di wilayah perkotaan, adalah budi pekerti yang baik dan sopan santun terhadap guru. Ada yang bernama Badriah dan Jamal. Dua nama yang erat lengket di kepalaku. Sebab dua anak ini terlihat cerdas dan memiliki moral yang baik. 

Saat hari kedua, aku dan teman-teman mengajarkan pelajaran yang sudah dijadwalkan kemarinnya. Aku membuka salam. Deg-degan masih menyelimuti. Aku belum begitu beradaptasi dengan lingkungan di sini. Tapi ku coba dengan segenap kekuatan keberanian. Ternyata responnya positif. Lagu yang kuajarkan kemarin sudah mereka hafal. 

Haha, taktikku mulai menyentuh mereka. Terlihat ada beberapa anak yang sudah hafal namaku. Hal ini merupakan sebuah kemajuan untukku. Karena tak kenal maka tak sayang, pepatah yang ampuh. Kemudian, temanku mengajarkan bahasa Inggris untuk anak-anak kampung sini. Ia mengajarkan beberapa kosa kata dasar dan menyuruh mereka menghafalkan. Terlihat mulut mereka dengan khusyuk menghafalkannya tanpa membuat keributan. Hah, kesan yang bagus lagi. Biasanya, kalau anak-anak sering rebut di saat begini. Tapi di sini tidak. 

Mereka menghafalnya di dalam hati dan ada yang berbisik pelan. Tak membuat gaduh suasana kelas. Lantas, beberapa dari mereka ada yang sudah menghafal semua dalam waktu sekejab. Cerdas. Kesan kedua untuk mereka. Biarpun letak gampong yang tidak begitu dikenal oleh kawasan sini, anak-anak ini termasuk modal bangsa yang luar biasa. Jika memiliki fasilitas dan guru yang professional kemungkinan besar akan dapat memajukan Sumber Daya Manusia yang ada di sini. Setelah itu, ada yang menarik perhatianku.

Seorang anak kecil yang duduk paling ujung kanan sedang bingung dengan apa yang ditulisnya. Aku mendekatinya, saat kulihat ia kesulitan dalam menulis apa yang diajarkan temanku. 

“belum bisa menulis ya Dudi?”

“baru kelas dua dia bu.” Sahut Gugun teman di sebelahnya, namun umurnya sebaya dengan abangnya Dudi.

“oh, sini kakak bantu dektekan.”

Dudi angguk-angguk saja. Ia menuliskan apa yang aku dektekan. Namun, ternyata kemampuan menulisnya masih terlalu lemah. Aku dengan sangat pelan mendektekan satu persatu huruf padanya. Namun, takjubnya ia tak pernah mengeluh. Terus saja menulis. Memang untuk tingkat SD kelas dua di wilayah perkotaan kemampuan baca tulis sudah masuk kategori mahir. Tapi, sangat berbeda dengan yang Dudi alami. Aku tak tahu pasti apa penyebabnya. Yang jelas saat itu, aku ingin Pobri bisa menulis. 

Ia, kurun waktu saat aku mendektekan huruf Inggris pada Dudi, aku menyambilkan mendengarkan hafalan kosa kata Inggris beberapa anak yang lain. Hari itu, jumlah murid bertambah 7 orang, syukur Alhamdulillah. Semangat belajar anak-anak kampung begitu tinggi.

Satu, dua, dan selanjutnya tinggal dua orang saja yang belum menyetor. Aku masih memberikan waktu. Lantas, apa yang terjadi dengan Dudi? 

“aha, sudah selesai Dudi.”

Membalas dengan senyuman. Nampak gigi putihnya berjejer panjang dua di depan dan pendek di belakang.

“mau kakak dektekan untuk dihafal?”

Dudi angguk-angguk saja. Senyum simpul terkuak di kedua bibirnya. Baru dua kali aku mendektikan. Pelan-pelan mulut Dudi komat-kamit menghafal kata-kata bahasa Inggris. Dan luar biasa, dari lima kata yang kuajarkan, tiga kata bisa dihafal dalam waktu yang singkat. Ia tersenyum lagi padaku. Seperti bahasa israyat “terimakasih kak”. Aku pun membalas senyumnya. Seperti bahasa isyarat “sama-sama”.

Memang mengajar di wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan sangat berbeda jauh. Saat aku mengajar di kota, aku mendapati beberapa murid yang pintar namun kurang berlaku sopan. Rasa hormat dengan guru sudah mulai pudar. Namun, berbeda sekali saat aku mengajar di kampung. Murid-muridnya patuh, berbicara saat dipersilakan, menghormati guru, bahkan cerdas pula. Memang pengalaman berharga adalah saat kita mampu memetik pelajaran dari setiap kejadian yang kita alami. Termasuk pengalaman mengajar anak-anak kampung yang letaknya jauh dari hiruk pikuk kota. 

Walaupun ada beberapa anak yang kemampuannya menulis dan membacanya masih kurang, namun ia tetap berusaha. Semangat pantang menyerah hinggap dengan baik di raganya. Mungkin itu juga yang menjadi kendala kita, kadang kala kita terlalu cepat menyerah baik itu saat belajar maupun mengajar. Tapi tidak untuk Dudi. Bahkan poin plusnya ia mampu menjaga sikap dan tingkah lakunya agar tetap sopan di depan gurunya. Subhanallah. Pengalaman yang sangat berbeda yang kudapatkan di sini. Memang kita harus selalu ingat, sepandai apapaun kita, tetap harus mengedepankan adab. Dan Dudi telah membuktikannya. Karena adab itu di atas ilmu.

Nb.
*diangkat dari kisah nyata penulis, gambar di atas adalah ilustrasi dan nama di dalam cerita disamarkan.

                                                                                       Aceh Utara, 27 Apri 2014

    Nur Anshari

Komentar