Oleh Nur Anshari
Bila kita mengunjungi Museum Aceh, tak hanya Rumoh Aceh saja lho
yang ada, masih banyak peninggalan sejarah yang juga dipamerkan di arena museum
aceh. Salah satunya foto dibelakang saya, terlihat beberapa pameran prasejarah
yang terdiri dari fosil, kendi, dan alat-alat lainnya yang digunakan di zaman
purbakala. Disamping kanan saya terlihat maja kaca yang berisi tengkorak
manusia purbakala seperti: Homosapiens, Megantropus, Pithecantropus, dan
lain-lain.
Disamping kiri saya berupa kendi yang digunakan oleh manusia yang
hidup pada masa bercocok tanam, yakni sekitar masa setelah manusia purba. Pada
zaman ini, mereka sudah mengenal ilmu bercocok tanam dan berburu, sehingga
mereka sudah bisa membuat kerajinan tangan dan beberapa alat masak-memasak
seperti kendi, sendok, dan lain-lain.
Di gedung pameran ini, saya dan kakak saya juga berhasil
mengabadikan gambar masa sejarah berupa alat-alat yang berhasil dibuat oleh
manusia zaman itu. Seperti, pedang, kendi, piring, kapak, dan beberapa alat
meminum dan memasak lainnya.
Selanjutnya, kami naik ke lantai dua berisi tentang sejarah Aceh
dan tokoh-tokohnya. Foto dibawah ini menjelaskan tentang peperangan aceh
melawan penjajah Portugis dan Belanda.
Lanjut lagi, kami membaca beberapa tulisan tentang sulthan malik
al- shaleh, salah satu sulthan Aceh yang terkenal hingga kini. Ini foto
tulisannya. Hah, asiknya bisa berkunjung ke tempat seperti ini, serasa memutar
balik waktu ke zaman dahulu kala. Cocok banget untuk dijadikan referensi tur wisata kamu bareng teman atau keluarga
ya. Selain hati senang, otak juga terisi. Banyak pengetahuan yang bisa dipetik.
Contohnya saja, bagaimana seorang sulthan yang menjadi pemimpin memiliki
karismatik dan wibawa sehingga masih diabadikan kisahnya dalam buku-buku
sejarah. Lantas, pemimpin kita saat ini paling tidak akan menjadi sejarah untuk
anak cucu di masa depan nanti kan? Nah, apa yang mau diandalkan untuk
dideskripsikan menjadi bahan bacaan sejarah seperti yang ditulis terhadap
sulthan? Itu hanya mereka para pemimpin yang bisa menjawab.
Perlu kita ketahui, pejuang Aceh bukan hanya Cut Nyak Dhien dan
Lakasamana Keumala Hayati saja, seperti yang sering didengar selama ini. Masih
ada pejuang wanita Aceh lainnya yang namanya jarang disebut sebagai pejuang.
Namun, perjuangan dan kerja kerasnya untuk melawan penjajah saat itu perlu
diacungkan jempol. Walaupun bertubuh perempuan tapi semangatnya layaknya
kesatria yang berjuang dan berperang melindungi Aceh dari penjajah. Inilah
deskripsinya.
Nah, apa kiprah kita sebagai wanita Aceh masa kini? Apakah dengan
mengumbar-umbar isu gender, kita benar-benar
sudah menjalankan kewajiban kita sebagai wanita? Mungkin kamu sendiri
yang bisa menjawab. Tugas kita sebagai wanita adalah menjaga nama baik Aceh.
Menjadi wanita karir boleh-boleh saja, disetarakan dengan pria juga oke, tapi
harus ingat lumrahnya wanita itu tidak melampaui batas-batas syariat. Kerjakan
hal yang menurut agama dan norma dibenarkan dan jauhi perbuatan yang melanggar
agama dan norma. Berikut juga ada foto deskripsi sulthan dan kaligrafi masa
itu.
Berhubung, saya berasal dari Langsa. Dan waktu kecil dulu saat saya
sering menjadi peserta lomba dan mengikuti lomba di gedung wali kota langsa,
yang disebut cakradonya. Sempat terfikir dan penasaran, apa sejarah cakradonya
sebenarnya? Dan hari ini bisa terjawab disini, cakradonya merupakan lonceng
yang diberikan oleh Laksamana Cheng Ho dari Cina. Perlu sobat ketahui, hubungan
Aceh dengan Cina begitu dekat lho? Sampai-sampai lonceng yang besar banget itu
diberikan Cina untuk Aceh dalam rangka persahabatan kedua daerah ini. Nice ya.
Sejarahnya, lonceng cakradonya ini dijadikan alat pemberitahuan adanya musuh di
kapal milik pejuang Aceh yang berlayar di lautan. Kemudian lonceng ini setelah
perang usai dipindahkan ke musem Aceh. Berikut fotonya.
Ini foto lonceng cakradonya yang
asli lho. Bukan palsu. Hehe
Yang di atas ini, foto kaligrafi yang diukir dengan indahnya. Dan
foto di bawah ini, lokasi museum lantai dua. Yang disebelah kanan saya merupakan
otografi pejuang, sulthan, dan hal-hal yang berhubungan dengan Aceh.
Ada yang mengerikan juga lho, batu nisan zaman dulu berbeda dengan
zaman sekarang ini fotonya
Nah, tur kita ini baru satu gedung lho, banyak kan? Belum lagi saya
ceritakan tentang tombak inong bale yang runcing banget. Kalau ada balon pasti
meledak. Hehe ini dia fotonya. Ahahahha fotonya ntar aja ya belum kering, karna
baru dicuci. Wah, bangga jadi mahasiswa UIN ar-Raniry, karena berhasil melihat
tulisan tangan syekh Nuruddin Ar-Raniry, ulama asal India yang menyebarkan ilmu
dan wawasannya di Aceh. Bahkan namanya dinisbahkan untuk kampus tempatku
belajar. Ini fotonya.
Sory ya agak
pudar gambarnya, maklum, kameranya mengikuti model yang dipoto sih. Kalau benda
yang difoto berasal dari zaman dulu, ya kameranya ngikut deh, jadi buram juga.
Masak ia? Hemmm… sobat, udahan dulu ya, ntar disambung di sesi rumoh Aceh yang
tak kalah seru juga, cerita dan sejarahnya. Ayuukk…
Nur Anshari, 23
Februari 2014. Banda Aceh
Bagus banget tulisannya, Nur Anshari. Makasih ya sharingnya. Ditunggu wisata sejarah selanjutnya ya
BalasHapusBagus banget tulisannya, Nur Anshari. Makasih ya sharingnya. Ditunggu wisata sejarah selanjutnya ya
BalasHapusalhamdulillah, makasih kak mala :-).. ok kak :-)
BalasHapus