Mamak adalah seorang pahlawan hidupku. Bahkan setiap tingkahku aku
akan sedih sekali bila menyakiti mamak. Orang yang paling aku sayangi di dunia
ini. Kalau orang bertanya, setelah Allah dan Rasul siapa yang lebih kamu
sayangi? Aku akan menjawab sebanyak tiga kali, mamak, mamak, mamak, dan ayah.
Karena Rasulullah saw berpesan dalam sabdanya, ketika ada seorang sahabat
menanyakan kepadanya, siapa yang seharusnya saya sayangi? Rasul menjawab ibumu,
ibumu, ibumu, baru kemudian ayahmu. Begitulah Islam sangat santun dalam member
pelajaran bahwa ibu lah yang paling utama kita harus sayangi. Hal ini terbukti
dari penyebutan kata ibu dan penyebutan tiga kali dalam sekali sebut. Setelah
ibu, baru kemudian kita menyayangi ayah.
Kalau ditanya tentang sejauh mana perjuangan ibu sepanjang hidupmu?
Aku akan menjawab sampai aku menulis ini, perjuangan ibu untukku masih terus
bergulir. Selama nafas masih bisa dihirup, begitu pula perjuangan dan kasih
sayangnya tercurah untukku. Menyambut hari Ibu, aku ingin mempersemabhkan tulisan
ini untuk ibuku, tulisan sambungan dari Ibu, Maafkan Rita 1…
Ibu, Maafkan Rita 2
Oleh: Nur Anshari
Setelah kejadian itu, Rita termenung sendirian. Cermin yang
memantulkan wajahnya seperti musuh baginya.
“Kenapa harus wajah ini yang melukai ibu?” rita merasan terpuruk dengan
kejadian yang menyakiti ibunya akibat ulahnya. Rita merasa hidupnya tidak
berguna. Ibu yang paling ia cintai sudah ia sakiti perasaannya. Sahabat yang
paling ia sayangi sudah dikhianati.
Rita merenung sendiri semalaman. Ada rasa kesal dan menyesal yang menyelimutinya. Ia tak mampu lagi menyimpan beban masalahnya.
Ia bersujud, memohon ampun pada sang Maha Pengampun. Malam itu juga ia
bertobat. Gadis yang berambit ikal sebahu itu akhirnya membuat keputusan
hidupnya. Ia mengambil jalan yang sesat dan ingin merubah hidupnya ke jalan
yang lurus.
Rita sudah mengambil keputusan bulat. Esok ia akan segera
memberitahukan rencananya kepada ibunya. Malam yang panjang itu, merupakan
malam yang indah untuk perjalanan hidup Rita. Ia semacam mendapat hidayah yang
akan merubahnya seratus delapan puluh derajat.
Keesokan harinya Rita mengemas barang-barangnya. Baju, buku,
sebagian perlengkapan mandi dan barang-barang penting lainnya telah ia masukkan
ke dalam tas. Pagi itu, ia berniat hengkang dari rumah untuk waktu yang lama.
Bukannya kabur. Ia memberitahukan dan mohon pamit pada ibunya yang tengah
memasak di dapur.
“Ibu, Rita akan mendaftar dan tinggal di pesantren modern Nurul
Hikmah. Rita ingin menjadi hafizhah al-Quran.”
“baiklah nak jika itu maumu, ibu akan mendoakanmu”
Dengan wajah dingin tak menangis dan tak tersenyum. Itulah ekspresi
kedua ibu dan anak ketika akan berpisah untuk waktu yang lama.
Matahari terbit, lalu terbenam. Terbit lagi terbenam lagi. Begitu
seterusnya hingga dua bulan sudah Rita meninggalkan rumah untuk menjadi seorang
hafizah.
“Bagaimana
kabar Rita anakku? Kenapa sudah dua bulan tidak pernah menelpon kerumah?” ibu
tak dapat menyembunyikan kerinduannya kepada anaknya. Apalagi Rita yang
meninggalkan kuliah yang sudah lima semester dan memilih menjadi seorang
penghafal quran. Sungguh hal yang tak pernah terlintas di pikiran ibunya.
Di sudut
pesantren Nuruh Hikmah, tinggalnya seorang santriwati yang bertudung pink. Ia
selalu memakai tudung pink. Karena ia
suka. Baru dua bulan ia di pesantren, namanya sudah terkenal di seantero pesantren, bukan karena membuat
ulah, tapi karena kecerdasan otaknya dalam menghafal al-Quran. Baru dua bulan
ia sudah bisa menghafal dua juz. Luar biasa.
Aku tidak tega
melihat kesedihan dan kerinduan ibu Rita kepada anaknya. Sesekali di waktu
senggang aku bermain ke rumah Rita untuk menjenguk ibu Rita. Sesekali ibu Rita
tersenyum dengan gurauanku. Kadang kala aku pula yang menghapus air matanya
saat ibu yang sudah renta itu teringat Rita.
Rita bukan tidak
mengingat ibunya. Bukan pula ingin menghapus jejaknya di rumah. Rita hanya
ingin focus terhadap hafalannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri ia juga sangat
merindukan ibunya. Ia ingin membuktikan dan taubatan nasuha untuk menebus
segala dosa-dosanya. Ia berencana akan pulang setelah ia benar-benar lancer
menghafal tiga puluh juz.
Aku pergi
berbelanja setelah pulang dari menjenguk ibu rita. Tak berapa lama memarkir
mobil di parkiran saat aku hendak memasuki mall, aku berpapasan dengan Rifki.
Mantan pacar Rita. Aku pernah melihat fotonya saat Rita bercerita terus terang
padaku. Aku hafal benar wajah yang ada di foto itu, yang menjadi penyebab semua
masalah ini.
“sayang, kamu
masuk duluan ya, abang mau terima telpon dari mama bentar”\
“ia bang, adek
masuk duluan.”
“Rifki?”
“ia, anda
siapa?”
“hem…tidak
bukan siapa-siapa”
Aku bergegas
mengambil kembali mobilku. Aku tak ingin menambah masalah dengan memberitahukan
aku adalah teman Rita, mantan pacarnya. Rupanya Rifki tidak berencana serius
untuk menikahi Rita. Rifki hanya playboy yang suka mempermainkan perempuan.
Lihat Rifki dan pacar baruya mesra banget. Ih ngeri, untung saja Rita sudah
putus dengan Rifki. Daripada masih pacaran dengan Rifki, bisa-bisa…
Hari itu, merupakan hari buruk bagiku. Melihat ibu Rita menangis,
mergokin Rifki pacaran dengan orang lain. Mumet.
Rupanya, kesedihan dan kepahitan ibunya Rita terbayar sudah dua
tahun lamanya. Rita menelpon
-rita stress, taubat, memasuki lingkup pesantren, menjadi hafiz
quran
Ibu merindukan rita, ia kecewa, tapi ia masih menyayangi anaknya,
Aku menjadi penghibur ibu rita, semenjak rita di pesantren
Rifki, mantan pacar rika, pacaran dengan cewe lain,
Rita menjadi hafizah
Rita pulang kerumah
Tak sengaja ia berjumpa dengan rifki, mantan pacarnya
Rifki, kembali mengingat masa2 indah bersama rita, dan mulai bosan
dengan ingka,
Rifki mengajak balikan
Rita tidak mau, ia mau mengabdi kepada ibunya
Rifki frustasi, ia mencoba terus dan terus
Rita tidak berkenan
Akhirnya Rifki membenco Rita dan mencoba ingin menjebak Rita dengan
berpura-pura ia sudah tobat dan mendekati Rita dengan segala rencana busuknya.
Datang Iqbal,
santri yang satu pondokan dengan Rita. Siapakah Iqbal yang mulai mengisi
kehidupan? Akankah Rita terperdaya dengan Rifki atau malah berjodoh dengan
Iqbal? Nantikan kisah selanjutnya di Ibu, Maafkan Rita 3…
Komentar
Posting Komentar