Ibu, Maafkan Rita...



Oleh : Zira Hanif

“Bosan. Pergi kuliah, pulang kuliah, pergi lagi, pulang lagi. Belajar lagi, ujian lagi. Serasa hidup memang sudah di set-sedemikian, gak berwarna, bĂªte, lebih-lebih galau.” Pekik Rita ingin segera mengakhiri aktifitas membosankan itu.

“huss,,kamu gak boleh bilang gitu Rit, kan kamu kuliah ke sini atas keinginan kamu sendiri. Mana ada kuliah yang gak ada ujian-ujian.” Tegur Rere.

“Bukan gitu Re, aku bosan banget. Hidup aku gini-gini aja, Ip pas-pas-an cukup buat makanlah. Aku gak minat banget kuliah di jurusan ini. Suer di samber si gedek.”

“Ya, tapi kan hidup itu harus dijalani Rit.” 

“ia, ia aja deh aku depan bu Ustazah. Males banget berdebat sekarang. Yang ada tambah pusing aku.”
“Yasudah, aku kan Cuma mau kasih saran. Ya kalau diterima Alhamdulillah, kalau gak juga gak apa-apa atuh.”

Rita dan Rere sahabat karib sejak tiga tahun lalu. Usia yang Cuma berselang 2 bulan menjadikan mereka saling curhat-curhatan masalah masing-masing kalau lagi bĂªte. Yang anehnya, curhatan kali ini, Rita tampak resah dan ogah diberi nasehat. Padahal, dulu-dulu asal Rita punya masalah dia selalu bias menerima nasehat dari Rere. 

“Pasti sesuatu telah terjadi pada Rita, gak biasanya dia se-bete itu.”

“ia nih, Re, aku juga ngerasa gitu” Rifa menimpali. Rifa yang baru-baru ini masuk jurusan kami karena pindahan dari Universitas di Langsa.” 

“kamu lagi ngapain Rit?” sapa Ranu

“aku lagi corat-coret nih buku, kamu gak lihat?” 

“ih, jutek amat!”

“Hufftt!”

“Eh, Rit kamu kok jutek dan galak banget hari ini, gak biasanya kamu gitu.”

“Re, biarin aku sendiri dulu ya, aku butuh di-privasiin dulu, so, jangan ada yang ganggu aku kayak si Ranu.”

“okelah jika itu maumu, kalau kamu perlu apa-apa jangan sungkan-sungkan panggil aku”

Hemmm menjawab dengan deheman aja,

Istirahat jam pertama usai. Pak Broto telah bersiap-siap masuk ke ruangan 5 gedung A, tentu saja itu gedung kuliah kami. Aku begitu riang menyambut perkuliahan pak Broto, dosen lulusan UK yang memliki integritas tinggi, dosen berbakat. Kalau ada pemilihan dosen award 2014 pasti aku bakal dukung abis-abisan lewat sms untuk nominasi beliau. Heheh…emangnya ada.?

Seperti minggu lalu, minggu-minggu lalu dan lalu, pak Broto dengan kekhasan mengajar selalu bisa memancing insting intelektualku untuk berpikir keras. Beliau yang ahli dalam menerjemahkan beberapa filsuf-filsuf kuno mengenai sejarah peradaban Islam di Eropa membuat seisi kelas takjub. Aku terbawa angan dan imajinasi persis apa yang beliau jelaskan. Saat berada di Inggris, Wina, Jerman dan Spain untuk mengikuti studi Tur, pak Broto dengan rapi dan baiknya mengantar kami seperti benar-benar sedang berada di sana. Dahsyat.

Memori otakku sedikit menciut saat beliau mengajarkan tentang tehnik beracara di pengadilan. Menurut penjelasan beliau pengadilan di Eropa tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Masing-masing berbeda oleh tempat yang berbeda saja. Tapi aku malah merasa berat menerima pelajaran ini. Ah, yang penting aku faham dulu, pelan-pelan aja Re, aku menyemangati diriku sendiri.

Di sudut lain, aku mencoba mengalihkan sedikit perhatian ke jendela. Bukan untuk melirik teman cowok, tapi aku kawatir dengan Rita yang duduk di pojok dekat jendela. Saat jam Pak Broto gini, Rita-lah yang paling cuek bebek. Gak open sekitar selain blue diary-nya. Kenapa? Aku juga belum tau.

Satu setengah jam berlalu begitu saja. Perkuliahan pun berakhir. Sudah siap juga pak Broto meninggalkan ruangan dan disusul oleh mahasiswa-mahasiswa lain. Dan aku, ingin pulang juga. Lantas Rita? Terpekur kaku di pojok itu.

“ayo, Rit kita pulang.”

“duluan aja Re, aku masih mau disini.”

“bener gak papa?”

“ia, bener”

“oke deh, aku pulang ya, yuk Rifa”

“duluan juga ya Rita” sambung Rifa

Aku masih saja kawatir dengan Rita. Sebenarnya ada apa dengan dia? Besok aku harus ke rumahnya, bertanya dengan ibunya sambil membawa beberapa kue buatan ibuku. Hubungan Ibu Rita dan ibuku juga dekat. Itulah asal muasal kenapa aku dan Rita juga dekat.

“Bang, jemput adek di persimpangan menuju kampus ya. Adek udah nunggu nih.” Telfon Rita untuk seseorang di seberanv telfon sana.

“ia adek sayang, abang lagi di pom bensin, lima belas menit lagi sampai” jawab Riki, “bener ya bang, awas kalau lama.”

“ia, sayang”

Dari seberang sana, si abang yang disebutkan oleh Rita adalah pacar rita. Apa? Rita yang berjanji dalam diarynya setahun lalu tidak akan pacaran, akhirnya melanggar janjinya sendiri. Ternyata ia sudah menerima cinta yang tulus ntah gak tulus dari seorang laki-laki yang baru ia kenal lewat FSB, jejaring social internet. Rita yang kesem-sem dengan foto sampul Riki langsung mengiyakan saat ditembak. Padahal apalah ditembak itu, kan nanti sakit. Namanya aja kena tembak. Apapun itu, cintakah itu, ujung-ujungnya pasti sakit. Tapi, Rita menyingkirkan semua itu. Demi kehidupan yang ia rasa bosan akhir-akhir ini, cinta pun disikat walau belum halal. Ampun…

“abang Riki…! Saat melihat orang itu tepat berhenti di depannya”

“adek Rita, naik dik, abang bawa jalan-jalan.”

“ah, senangnya, karena adek lagi bosan banget. Kemana bang?”

“pokoknya tempatnya asyik deh”

“bener ya”

“bener.”

Satu jam, dua jam, pukul 3 menjelang sore, Rita belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah. Ibunya kawatir, dan berusaha menghubungi Rere.

“Re, bukankah kamu tadi kuliah bareng dengan Rita? Tau, nak Rita sudah pulang apa belum?” suara ibu rita agak serak diseberang sana.

“ia bu, tadi Rita ada kuliah, tapi Rere pulang duluan tante, dan Rita masih di kampus”

“itulah, tante cemas Re, biasanya Rita tidak pernah melewatkan makan siangnya di rumah, paling kalau ada belajar kelompok sama nak Rere” 

“coba, Rere Tanya sama teman yang masih dikampus ya Tan, mana tau Rita emang masih di kampus.”

“makasih ya nak, karena sudah tante telpon berkali-kali tapi Rita tidak mengangkat.”

“ia tante, nanti Rere kabari tante ya,”

“tante tutup ya telponnya, Assalamu’alaikum”

“wa’alaikumsalam”

Rita, ada apa sih sama kamu? Kemana lagi kamu siang-siang gak ngabari ibu kamu? Coba aku Tanya sama Rifa ah, dia kan jam 2 siang mau ke Pustaka katanya, pinjam buku, barang kali ngelihat Rita.

Aku langsung memencet keyboar hape dan mengetik sms yang bunyinya kayak gini. Rif, lagi dimana? Ada lihat Rita gak? Lalu tekan send Rifa

Selang semenit, layar hape menyemburat nama Rifa, balasan. “ia Re, tadi aku sempat lihat Rita di persimpangan. Kalau gak salah dia dijemput dan naik motor laki-laki. Aku gak pernah lihat laki-laki itu sebelumnya.”

Oh, gitu. Thanks Rif.

Sama-sama.

Dijemput laki-laki? Apa bang Refo? Tapi kayaknya bukanlah, bang Refo kan lagi di Semarang. Tapi, saudara laki-lakinya Rita kan Cuma bang Refo? Atau bang Rifki? Gak mungkin…kan lagi kuliah di Jerman. Aduh, trus siapa laki-laki itu?

Coba aku call Rita aja, kali-kali dia mau angkat.

“Rita, ibu kamu suruh kamu pulang segera.”
 
“Apa? Gak dengar Re? sms aja ya.”

Tut..tut..tut sambungan terputus.

Rita, kamu memang kelewatan, ibu nelfon gak diangkat, sahabat hubungi diangkat lalu dimatikan. Kamu berubah Rit, pake acara boncengan sama laki-laki yang gak dikenal lagi. Memangnya terjadi apa dengan kamu Rit? Aku melontar seuntai kesal pada sahabatku yang sudah berubah.

“Bang, besok jemput lagi ya, di tempat yang sama.”

“ia dek…abang senang kali jalan-jalan berdua dengan adik.”

“Rita, pulang darimana? ibu kawatir. Ini siapa? Teman kamu?”

“ibu? Bukan bu, eh anu..anu..dia.”

“kenalkan bu, saya Riki, pacar anak ibu”

“Apa?”

Brak..ibu Rita sontak shock, dan pingsan. Tubuh dan hatinya tak sanggup mendengar kata pacar dalam kamus keluarga besarnya. Ibunya sangat kenal dan paham ajaran agama Islam. Sebisa mungkin mengajarkan anaknya tentang batas-batas pergaulan dengan lawan jenis. Sekarang? Di usia renta begini ia tak sanggup mendidik anaknya untuk menjauhi dosa perbuatan itu. Ibu Rita takut akan siksa neraka, bagi seorang ibu yang lalai mendidik anak. Ibunya juga tak rela anaknya akan kena siksaan pedih karena perbuatan dosanya.

“kamu pulang aja bang, ibu Rita gak suka lihat abang, kita putus detik ini juga”
Bak disambar geledek, Riki dengan songkaknya  berujar dan marah-marah, “siapa pun yang mau pacaran sama cewek jelek kayak kamu. Anggap aja kita gak pernah kenal” busss….suara motor itu ditelan jalan, pandangannya hilang digantikan oleh asap knalpot. 

Bang Refo yang sedang menuju pintu keluar terperangkap dengan adegan ibu tersungkur di tanah bersandarkan, Rita.

“Rit, ibu kenapa? Cepat arahkan ke bahu abang, bawa ibu masuk ke dalam.”

“ia bang,hiks..hikss..” hujan air mata tak sanggup di bendung. Rita menyesal dengan perbuatannya hari ini.

Rasa bosan, galau, dengan kuliah dan kehidupannya, ia lampiaskan pada cinta semu dan sesaat yang berakibat pada jatuh sakit ibunya. Ibu yang ditinggal ayah di dunia ini beberapa bulan lalu tak mampu menahan kesedihan melihat anaknya telah salah jalur. Ibu dan anak itu tersungkur dan menangis tersedu. Dalam pelukan ibunya, Rita memohon maaf. Ibu maafkan Rita, ya Allah ampuni Rita.

Semua kejadian ini, aku dengar dari mulut Rita sendiri. Ia sengaja datang ke rumahku malam itu juga, untuk meminta maaf juga padaku, karena ia tidak mau berbagi tentang kedekatannya dengan Riki, laki-laki yang hanya ingin mempermainkannya. Rita menyesali semua perbuatannya hari itu, mulai dari meminta maaf pada ibunya dan aku. Kemudian ia akan meminta maaf pada teman-teman yang ia jutekin kemarin. 

Tidak ada kata terlambat untuk bertobat. Dan pikirkan setiap perbuatan kita akan ada yang menyaksikan, walau tanpa mata orang, cctv ataupun kamera tersembunya, tapi ada Allah yang Maha Mengetahui. Jadi, muslimah sejati, jangan sia-siakan hidup berhargamu hanya karena bosan, jenuh, galau dengan segala problema perkuliahan. Hidup ini memang penuh masalah, jadi jangan buat masalah dirimu dengan cara hidup yang salah. Tentunya tetap berpedoman pada ajaran agama dan ingat orang tua akan pengorbanan mereka untukmu.

Pesan penulis, jangan pernah sekali, dua kali, bahkan berkali-kalipun sampai menyakiti hati seorang ibu. Untuk ibuku Herawati, anakmu mencoba menggali makna cinta seorang ibu kepada anaknya walau dipisah oleh jarak sekalipun. Terimakasih ibu, karena telah melahirkanku, mengajarkanku, menghangatkanku, dan memberi arti hidup yang sesungguhnya. Cita-cita anakmu untuk menjadi penulis akan terus Zira tanam dan pupuk dengan baik. dan hati dan jiwa ibu akan tetap menyusup di ruang hati ini. 

Mau tau apa kelanjutan kisah Rita? Singkatnya Rita ingin mencari cahaya di balik kegelapan hidupnya karena telah berjalan di jalur yang salah. Apakah Rita akan semakin frustasi dengan rutinitas kampus yang tidak disukainya? Mencari pengganti Riki atau bertobat menjadi hafizah/ penghafal Quran? Nantikan kisah selanjutnya di Ibu, Maafkan Rita,.. season dua… selamat menikmati.

*cerita ini hanya fiktif belaka, apabila terdapat kesamaan nama, tempat, waktu dan tokoh. Itu hanya sebuah kebetulan belaka. 

Zira Hanif adalah nama pena Nur Anshari

Komentar