Beberapa bulan yang lalu, tak sengaja aku iseng
mengikuti ajakan dari kawan-kawan FLP untuk melihat lokasi rumcay yang baru.Kak
junaidah, menampakkan sebuah foto rumcay yang baru kepada kami. Terlintas, dari
foto tersebut semacam ada aura mistis yang tersimpan di dalamnya. aku tak tahu
itu aura kasih yang jaman dulunya beken atau malah aura gak kasih a;ias aura
benci. Hehe..
“ih
seramnya”, gumamku dalam hati.
“kayak
gak berpenghuni” sambungku
,
“memang
gak ada yang tinggal.” Sambung yang empunya foto. Lepas ini kita kesana ya.
Sambungnya.
“wah?”
pergi ke tempat yang angker itu? aku pun memberanikan diri kan rame” pikirku.
Lalu,
tibalah rombongan kami. Lokasi yang seharusnya lebih cocok untuk “makhluk
halus” ah? Sangking sramnya. Aku sih sok-sok berani masuk ke dalam.
“oh,
gini aslinya. Gak seram-seram amat. Beda foto dengan aslinya. Gumamku lagi-lagi
di dalam hati. Soalnya, aku tipe orang yang gak suka ngeluh alias kayak gak
terjadi apa-apa.
Aku
minta izin pulang ke mereka. Mereka manggut-manggut saja. Tanpa banyak
basa-basi lagi, aku langsung tancap gas
pulang ke rumah. Aku merasa ada sesuatu yang lain dari yang lain di hari itu.
tapi, aku tidak bisa mendeteksi apa itu. jangan-jangan...
Jam
tanganku sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sudah seharusnya aku bangun dan
melanjutkan aktifitas menulisku. Tiba-tiba perut terasa bergoyang. Bukan goyang
perut. Tapi, isi di dalam perut yang berputar.
Bukan
karena lapar, tapi yang menyakitkan lagi, kepalaku ikut berputar, hitam,
lemari, kasur, pintu, jendela, tak ada. Mataku berhenti berfungsi. Aku tidak
bisa meraba apa-apa yang ada di sekitarku. Apakah aku berada di dunia lain?
Kenapa benda-benda di rumah tak dapat kujamah?
Brak,
aku ambruk. Mesin pengetes detak jantung, bila dipasangkan di tubuhku pasti
sudah bekerja, sendainya saat itu aku berada di Rumah Sakit. Tapi, nyatanya
tidak, aku malah berada di rumah sendirian.
Sakratul
maut, apakah itu yang saat ini harus kuhadapi? Aku berzikir sebanyak-banyaknya
dan sekhusyuk-khusyuknya. Bening putih menetes di pipiku, tidak sederas hujan
lebih deras lagi air mataku. Tumpah tak tertampung. Selama hampir 20 menit aku
berad di dua kehidupan yakni, antara hidup dan mati. Kepalaku seperti digodam
barber besi. Berat hingga tak mampu kuangkat. Hanya Allah yang bisa menolongku.
Dan aku tertolong saat itu, karena Allah.
Semua
itu prosesi yang aku terima tepat dua jam sesudah meninggalkan lokasi rumcay
yang baru. Bangunan yang belum tersentuh oleh tangan manusia selama lebih
kurang 4 bulan telah memberiku pelajaran berharga. Ada “penghuni” di rumcay. Yang
harus disantuni dengan ramah-tamah. Mungkin sebelumnya aku lupa mengucapkan
salam yang santun.
Seperti
itulah kisahku mengenal rumcay baru. Pertama kali dan untuk terakhir kali aku
merasakan nuansa mistis dalam kehidupan ini. Aku tidak pungkiri bahwa aku orang
yang penakut. Tapi aku juga tidak sadari bahwa aura mistis hadir lagi dan
mengganggu kehidupan normalku walau hanya 20 menit.
Gembar,
gembor nama sesosok hantu di status-status anak FLP. Akhirnya aku tahu siapa
yang pernah “mengganggu”ku selama 20 menit itu. “Mimi” namanya. Mungkin saja ia
bisa merasakan, melihat, dan memantau gerak gerik ak di rumcay. Aku enjoy aja
untuk menghilangkan rasa parno dengan kejadian “mengerikan” kemarin. Aku tidak
pernah menceritakan ini ke siapapun, termasuk kawan-kawan FLP sekalipun.
Beruntung
hari ini, minggu 9 November 2013 aku mendapat tema menulis, “siapakah Mimi?”
aku bisa mengilustrasikan Mimi itu sebagai sesosok makhluk yang mengingatkanku
akan mati. Kullu nafsin za ikatul maut.
Setiap yang bernyawa pasti mati. Aku jadi berani menghadapi kematian dan tidak
lupa perbanyak zikir.
Mungkin
di awal tulisanku, tergambar bahwa aku adalah orang yang takut hantu dan
mengambinghitamkan aura mistis “Mimi” sebagai penyebab kejadian “mengerikan”
itu. sungguh tidak begitu.
Kembali
pada hukum sebab akibat. Kalau aku menganalisis kejadian yang menyebabkan
tubuhku tidak berfungsi kecuali air mata dan hati yang terus berzikir adalah
aku. Aku penyebab kejadian “itu”. aku takkan menuduh Mimi. Ia hanyalah makhluk
ciptaan Allah yang sama sepertiku. Hanya
saja kami berada di dunia yang berbeda.
Penyebabnya
bukan Mimi, melainkan aku. Sebelum kejadian itu, aku sedikit bersifat sombong.
Aku merasa akulah yang paling sehat di dunia ini. Jarang sakit dan selalu
energik. Sehingga aku melupakan bahwa kesehatan ini adalah nikmat yang
diberikan sang Pencipta, Allah swt. Aku lupa bersyukur.
Allah
menyadarkanku melalui kunjunganku ke rumcay yang dihuni oleh Mimi. Allah
mengambil sedikit nikmat kesehatan yang ada padaku, tetapi aku malah tidak
sadar dan sempat terfikir gara-gara “hantu”di rumcay. Astaghfirullah...
Allah
tentu punya tujuan dan maksud dalam menggariskan takdir kehidupanku. Mungkin
lewat kejadian kemarin, yang dulunya aku jarang berzikir, kecuali saat sakit
sekarang sudah berubah jadi lebih sering
berzikir.
Dulunya
aku yang begitu sombong dengan kesehatan sekarang tidak lagi. Hikmah dari
kejadian mengerikan itu aku jadi banyak bersyukur dengan segala nikmat yang
Allah berikan. Melalui Mimi aku sadar tentang banyak hal termasuk yang di atas.
Mimi
buatku, makhluk yang juga mencintai Allah, semoga saja benar. Mudah-mudahan
tebakan dan firasatku tentang Mimi beriman kepada Allah benar adanya.
Banda
Aceh, Minggu, 9 November 2013
Nur
Anshari
Sari, background postingannya kok transparan ya? rasanya jadi sulit dibaca :)
BalasHapusok, langsung ditanggapi. tq masukannya.
BalasHapus