Sewaktu aku masih duduk di kelas satu akhir semester di Madrasah
Aliyah, aku sempat berpikir nanti aku bakal masuk jurusan apa? IPA atau IPS? Aku
tidak begitu kenal bakat dan kemampuanku sendiri. Aku juga tidak terlalu keras
berpikir tentang pemilihan jurusan ini. paling-paling ikut kayak kakak dan
abangku ambil jurusan IPA.
Mutlak aku melingkari jurusan IPA di blangko pemilihan jurusan.
Tak ada terbesit rasa senang, bangga maupun penasaran terhadap jurusan
tersebut. Belajarku dan kenaikan kelas serta pemilihan jurusan seakan tak
berpengaruh apa-apa dalam kehidupanku. Berjalan dan mengalir begitu saja. Mata pelajaran
wajib seperti matematika, fisika, kimia, biologi, bergulir begitu saja.
Belajar rajin seperti biasa. Tak ada motivasi lebih,
apalagi untuk ikut olimpiade segala. Datar-datar saja. Karena aku mengira
dengan kemampuanku yang biasa-biasa saja mana mungkin bisa juara olimpiade
bidang apapun. Tak ada satu mata pelajaranpun yang tertarik untuk kugeluti. Mungkin
ini salah satu kesalahanku. Acuh tak acuh terhadap IPA.
Kelas dua ini kulalui dengan suka cita bukan karena
faktor belajarnya, tapi lebih pada faktor lingkungannya. Aku punya banyak teman
dan beberapa sahabat. Mereka antusias belajarnya. Mau mengejar peringkat kelas.
Serta merta virus ini menjangkit hampir seluruh antero kelas. Aku ikut-ikut
saja. Apalagi budaya di Madrasah Aliyah, yang mendapat juara bakal dipanggil
dimuka umum oleh kepala sekolah serta diberi penghargaan.
Tentu saja momen ini tak kulewatkan begitu saja. Aku begitu
menggebu-gebu dalam hal belajar. Semua mata pelajaran kugeluti. Tak ada
pilih-pilih. Mungkin dari satu sisi ini berguna untuk kenaikan peringkat
kelasku, namun tak berpengaruh terhadap bidang apa yang bakal aku pilih untuk
jurusan ke tingkat perguruan tinggi nantinya.
Aku memang begitu “polos”. Saat anak-anak sekolah lain
begitu menggebu-gebu mengejar predikat olimpiade sains aku malah hanya berpikir
pendek. Dapat rangking satu sudah cukup. Ternyata saat ini aku merasa hal yang
lima tahun yang lalu kupilih adalah pemikiran yang pendek. Karena rangking satu
saja tidak cukup untuk membuatku cerdas dan berprestasi nasional.
Maka peringkat yang mampu kubanggakan saat menginjak
bangku sekolah selama dua belas tahun hanya berupa peringkat kelas. Sungguh datar
sekali kehidupanku. Aku tersentak saat hendak memilih perguruan tinggi yang
akan menjadi jenjang pendidikanku selanjutnya.
Saat itu, terbuka
peluang bagi masing-masing sekolah di daerahku untuk melamar beasiswa kuliah
kedokteran di Banda Aceh, aku memberanikan diri bertanya kepada pihak
pengajaran yang bertugas mengirim daftar nama siswa.
Miris, saat aku bertanya kepada beliau. Jawaban beliau, “tidak
ada pengiriman siswa dari sekolah kita”. Down, kecewa, lumpuh rasa, pedih. Ingin
kuluapkan segala rasa hatiku saat itu. Aku tidak sanggup membayangkan cita-cita
yang tertanam rapi kini telah hancur berkeping-keping hanya dengan seutas
kalimat. Tidak ada upaya melawan didalam hati untuk memperjuangkan cita-citaku.
Kalut, pasrah, dan senantiasa berpikir positif aja. Karena
beban masih harus dilalui yaitu UAN. Aku tak berani membayangkan jika
seandainya aku yang mendapat peringkat kelas malah tidak lulus UAN. Sungguh
bisa menjadi penyesalan seumur hidup. Untuk sementara kukuburkan pemikiran
untuk melanjutkan kuliah di luar kota Langsa.
Aku begitu mencintai kedua orang tuaku. Mereka bersusah
payah untuk memperjuangkanku supaya sekolah. Keringat, tenaga terkuras, badan
terkulai lemah saat pulang tak pernah mereka keluhkan padaku. Aku bertekad akan
mengejar mimpiku dengan tanganku sendiri. Dengan kekuatanku sendiri. Dengan segala
kerahan tenagaku sendiri. Semua kulakukan sendiri.
Setiap pukul tiga malam aku bangun untuk meminta
pertolongan-Nya. Bersujud, menangis, dan mengaduh semua hal yang kurasakan saat
penolakan tentang beasiswa kuliah kedokteran tersebut. Aku pasrahkan semuanya
pada Allah swt. Belajar, berusaha mendapat beasiswa, dan berdo’a tak henti
kulakukan selama hampir berbulan-bulan.
Sempat aku mendapati percakapan orang tuaku tentang
kelanjutan pendidikanku. Tidak begitu aku hiraukan. Karena aku tidak mau
membebani kedua orang tuaku yang saat itu sedang mengalami masa sulit dalam
roda kehidupan. Aku juga tak ingin membuang mimpiku keluar dari sanubariku.
Mimpi tetap aku ikat baik-baik agar tidak lari. Aku tidak
malu dengan keadaan keluargaku. Malah aku bangga, disaat kehidupan ekonomi
sedang menyempit orang tuaku masih berpikiran jauh untuk pendidikanku. Walaupun
kehidupan kami tidak bisa dikatakan melarat dan tidak juga dikatakan
berlimpangan harta. Hidup sederhana.
Untuk itu, aku mencari segala informasi tentang perguruan
tinggi yang menyediakan beasiswa. Bertanya kepada teman, guru-guru, dan bebapa
kenalan teman di sekolah lain. Nihil. Belum ada titik terang. Aku tidak
berputus asa. Terus mencari tahu. Tak kenal menyerah.
Alhamdulillah, tepat sebelum aku melaksanakan UAN do’aku
diijabah oleh Allah. Tak sampai satu minggu aku menjalani ujian Madrasah aku
mendapat kabar dari abangku, bahwa ada peluang beasiswa melanjutkan keperguruan
tinggi bagi siswa berprestasi di seluruh indonesia. Kebetulan abangku punya kenalan dosen di
Lhokseumawe. Air mata haru menetes dihatiku. Mulutku tak henti mengucap
hamdalah. Wajah sumringah penuh keriangan tertumpah sudah.
Kabar gembira ini hanya bertahan sementara. Lagi-lagi aku
gagal. Karena waktu penerimaan berkas telah berakhir di Lhokseumawe. Jatuh lagi
harapanku. Tetapi tidak dengan tekadku. Keinginan hidup mandiri dan merantau di
daerah luar begitu menggebu. Setiap hari dan senantiasa aku berdo’a tentang
keinginanku ini kepada Allah. Aku begitu percaya mimpiku akan terwujud.
Tak terasa, waktu terus bergulir, tiba giliran ujian
praktek. Aku belum berpangku tangan. Kepasrahan belum hinggap dihatiku. Tekad itu
semakin menggebu dan kuat, aku takut sewaktu ujian praktek ini berakhir,
undangan perguruan tinggi pun tak mampu kudapat.
Memang, Allah selalu punya rencana lain untukku. Pagi itu,
aku membaca pengumuman di Madrasah, ada beasiswa lagi. Di IAIN Ar-Raniry
menerima mahasiswa baru dan dibuka beberapa peluang beasiswa. Hatiku berteriak.
Aku bisa. Allah bersamaku. Tak pikir panjang, aku langsung menjumpai kepala
sekolah berharap beliau bisa membantuku memberi informasi yang lebih jelas dan
detail.
Syukur Alhamdulillah, kepala sekolahku begitu ramah dan
antusias menerimaku. Beliau mengambil berkas-berkas persyaratan beasiswa di
dalam mobilnya. Tak kusangka proposal melamar beasiswa kuliah di Banda Aceh
kudapatkan dan mendarat tepat dihadapanku. Mulutku dan hatiku serempak mengucap
puji kepada sang Maha Kuasa.
Tak lebih dari seminggu aku mengurus segala persyaratan
beasiswa ini. besar harapanku untuk lulus. Kemudian semua berkas berhasil
dikirimkan keperguruan tinggi tersebut. Lega. Tapi muncul masalah baru. Mamaku enggan
memberi izin. Ya Allah kuatkan aku.
Perjuangan ini terus bergulir. Satu bulan dan Uan pun
berakhir. aku tak ingat-ingat lagi bahwa aku pernah mengirim berkas ke Banda
Aceh. Kututup rapat-rapat lagi mimpiku. Membuang jauh dari anganku. Mengambil kehidupan
baru disini bersama keluargaku. Lukaku terobati oleh waktu.
Dua bulan berlalu, kali ini dibuka pendaftaran kuliah
baru dikotaku, Langsa. Aku pergi bersama kakakku untuk mengambil formulir. Biasa
saja. Tak ada sumringah, tak ada greget. Mungkin karena mimpiku telah kukubur. Walaupun
sakit. Aku tak begitu ambil pusing. Kehidupan terus berjalan.
Manusia hanya berjalan, berencana, mengatur waktu, dan
kerja. Allahlah yang menentukan segalanya. Mimpi itu keluar lagi. Impian itu
muncul lagi. Semua berawal dari kepala sekolah. Beliau memanggilku kesekolah. Tak
terperikan dan membuncah rasa bahagia di hari. Aku lulus. Namaku terbaris rapi
dalam undangan pendaftaran ulang mahasiswa baru di IAIN Ar-raniry Banda Aceh. Alhamdulillah,
Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa.
Tak hanya aku dinyatakan lulus, tetapi ibuku ternyata
memendam impian yang sama. Dibalik ketidaksetujuannya yang memang ingin
membuatku tidak terlalu berharap, ternyata beliau menitip do’a untukku. Do’a
yang terbaik untukku. Dan ternyata diijabah oleh Allah. Aku yang anak desa
sederhana, hidup serba sederhana, meraih mimpi dari keserhanaan. Sukses adalah
milik setiap orang yang gigih memperjuangkannya.
Tinggat tetes air mata yang menggenangi pipiku. Deras seperti
air terjuan. Saat aku tatap wajah punggung ibuku, disini, dikota ini, Banda
Aceh. Teman-teman seangkatan MAN kelas 3
IPA 1 aku tidak akan melupakan kalian yang gigih berjuang bersamaku. Untuk ayahku
yang tidak banyak berkata, ikut sedih melepas kepergianku. Beliau sendirian
menangis yang aku tahu ada dibalik tatapan itu. Ayah aku mencintaimu karena
Allah, mamak aku juga sangat mencintaimu karena Allah.
Jangan pernah
Takut untuk Bermimpi. Karena dari mimpilah muncul orang-orang cerdas, sukses,
besar, dan bahagia. Kalau kamu ingin menjadi salah satunya, maka rawatlah
mimpimu seperti kamu merawat dirimu sendiri. Ikatlah mimpi itu seperti anggota
tubuhmu yang terikat dengan kuat. Genggamlah mimpimu seperti kamu menggenggam
tangan kekasihmu. Yang semakin digenggam semakin tidak akan terlepas. Jadilah
bintang yang bersinar yang memancarkan cahaya kebaikan dari dalam. ‘Nur Anshari’
Banda Aceh, 26 Juli 2010 pukul 22.00
Ingatan Saat Mamak meninggalkanku menjadi bintang yang
bersinar di Banda Aceh
Komentar
Posting Komentar