Bintang tak Bercahaya (Refleksi Ulang Tahun, part-2)


Sewaktu aku masih duduk di kelas satu akhir semester di Madrasah Aliyah, aku sempat berpikir nanti aku bakal masuk jurusan apa? IPA atau IPS? Aku tidak begitu kenal bakat dan kemampuanku sendiri. Aku juga tidak terlalu keras berpikir tentang pemilihan jurusan ini. paling-paling ikut kayak kakak dan abangku ambil jurusan IPA.
Mutlak aku melingkari jurusan IPA di blangko pemilihan jurusan. Tak ada terbesit rasa senang, bangga maupun penasaran terhadap jurusan tersebut. Belajarku dan kenaikan kelas serta pemilihan jurusan seakan tak berpengaruh apa-apa dalam kehidupanku. Berjalan dan mengalir begitu saja. Mata pelajaran wajib seperti matematika, fisika, kimia, biologi, bergulir begitu saja.
Belajar rajin seperti biasa. Tak ada motivasi lebih, apalagi untuk ikut olimpiade segala. Datar-datar saja. Karena aku mengira dengan kemampuanku yang biasa-biasa saja mana mungkin bisa juara olimpiade bidang apapun. Tak ada satu mata pelajaranpun yang tertarik untuk kugeluti. Mungkin ini salah satu kesalahanku. Acuh tak acuh terhadap IPA.
Kelas dua ini kulalui dengan suka cita bukan karena faktor belajarnya, tapi lebih pada faktor lingkungannya. Aku punya banyak teman dan beberapa sahabat. Mereka antusias belajarnya. Mau mengejar peringkat kelas. Serta merta virus ini menjangkit hampir seluruh antero kelas. Aku ikut-ikut saja. Apalagi budaya di Madrasah Aliyah, yang mendapat juara bakal dipanggil dimuka umum oleh kepala sekolah serta diberi penghargaan.
Tentu saja momen ini tak kulewatkan begitu saja. Aku begitu menggebu-gebu dalam hal belajar. Semua mata pelajaran kugeluti. Tak ada pilih-pilih. Mungkin dari satu sisi ini berguna untuk kenaikan peringkat kelasku, namun tak berpengaruh terhadap bidang apa yang bakal aku pilih untuk jurusan ke tingkat perguruan tinggi nantinya.
Aku memang begitu “polos”. Saat anak-anak sekolah lain begitu menggebu-gebu mengejar predikat olimpiade sains aku malah hanya berpikir pendek. Dapat rangking satu sudah cukup. Ternyata saat ini aku merasa hal yang lima tahun yang lalu kupilih adalah pemikiran yang pendek. Karena rangking satu saja tidak cukup untuk membuatku cerdas dan berprestasi nasional.
Maka peringkat yang mampu kubanggakan saat menginjak bangku sekolah selama dua belas tahun hanya berupa peringkat kelas. Sungguh datar sekali kehidupanku. Aku tersentak saat hendak memilih perguruan tinggi yang akan menjadi jenjang pendidikanku selanjutnya.
 Saat itu, terbuka peluang bagi masing-masing sekolah di daerahku untuk melamar beasiswa kuliah kedokteran di Banda Aceh, aku memberanikan diri bertanya kepada pihak pengajaran yang bertugas mengirim daftar nama siswa.
Miris, saat aku bertanya kepada beliau. Jawaban beliau, “tidak ada pengiriman siswa dari sekolah kita”. Down, kecewa, lumpuh rasa, pedih. Ingin kuluapkan segala rasa hatiku saat itu. Aku tidak sanggup membayangkan cita-cita yang tertanam rapi kini telah hancur berkeping-keping hanya dengan seutas kalimat. Tidak ada upaya melawan didalam hati untuk memperjuangkan cita-citaku.
Kalut, pasrah, dan senantiasa berpikir positif aja. Karena beban masih harus dilalui yaitu UAN. Aku tak berani membayangkan jika seandainya aku yang mendapat peringkat kelas malah tidak lulus UAN. Sungguh bisa menjadi penyesalan seumur hidup. Untuk sementara kukuburkan pemikiran untuk melanjutkan kuliah di luar kota Langsa.
Aku begitu mencintai kedua orang tuaku. Mereka bersusah payah untuk memperjuangkanku supaya sekolah. Keringat, tenaga terkuras, badan terkulai lemah saat pulang tak pernah mereka keluhkan padaku. Aku bertekad akan mengejar mimpiku dengan tanganku sendiri. Dengan kekuatanku sendiri. Dengan segala kerahan tenagaku sendiri. Semua kulakukan sendiri.
Setiap pukul tiga malam aku bangun untuk meminta pertolongan-Nya. Bersujud, menangis, dan mengaduh semua hal yang kurasakan saat penolakan tentang beasiswa kuliah kedokteran tersebut. Aku pasrahkan semuanya pada Allah swt. Belajar, berusaha mendapat beasiswa, dan berdo’a tak henti kulakukan selama hampir berbulan-bulan.
Sempat aku mendapati percakapan orang tuaku tentang kelanjutan pendidikanku. Tidak begitu aku hiraukan. Karena aku tidak mau membebani kedua orang tuaku yang saat itu sedang mengalami masa sulit dalam roda kehidupan. Aku juga tak ingin membuang mimpiku keluar dari sanubariku.
Mimpi tetap aku ikat baik-baik agar tidak lari. Aku tidak malu dengan keadaan keluargaku. Malah aku bangga, disaat kehidupan ekonomi sedang menyempit orang tuaku masih berpikiran jauh untuk pendidikanku. Walaupun kehidupan kami tidak bisa dikatakan melarat dan tidak juga dikatakan berlimpangan harta. Hidup sederhana.
Untuk itu, aku mencari segala informasi tentang perguruan tinggi yang menyediakan beasiswa. Bertanya kepada teman, guru-guru, dan bebapa kenalan teman di sekolah lain. Nihil. Belum ada titik terang. Aku tidak berputus asa. Terus mencari tahu. Tak kenal menyerah.
Alhamdulillah, tepat sebelum aku melaksanakan UAN do’aku diijabah oleh Allah. Tak sampai satu minggu aku menjalani ujian Madrasah aku mendapat kabar dari abangku, bahwa ada peluang beasiswa melanjutkan keperguruan tinggi bagi siswa berprestasi di seluruh indonesia.  Kebetulan abangku punya kenalan dosen di Lhokseumawe. Air mata haru menetes dihatiku. Mulutku tak henti mengucap hamdalah. Wajah sumringah penuh keriangan tertumpah sudah.
Kabar gembira ini hanya bertahan sementara. Lagi-lagi aku gagal. Karena waktu penerimaan berkas telah berakhir di Lhokseumawe. Jatuh lagi harapanku. Tetapi tidak dengan tekadku. Keinginan hidup mandiri dan merantau di daerah luar begitu menggebu. Setiap hari dan senantiasa aku berdo’a tentang keinginanku ini kepada Allah. Aku begitu percaya mimpiku akan terwujud.
Tak terasa, waktu terus bergulir, tiba giliran ujian praktek. Aku belum berpangku tangan. Kepasrahan belum hinggap dihatiku. Tekad itu semakin menggebu dan kuat, aku takut sewaktu ujian praktek ini berakhir, undangan perguruan tinggi pun tak mampu kudapat.
Memang, Allah selalu punya rencana lain untukku. Pagi itu, aku membaca pengumuman di Madrasah, ada beasiswa lagi. Di IAIN Ar-Raniry menerima mahasiswa baru dan dibuka beberapa peluang beasiswa. Hatiku berteriak. Aku bisa. Allah bersamaku. Tak pikir panjang, aku langsung menjumpai kepala sekolah berharap beliau bisa membantuku memberi informasi yang lebih jelas dan detail.
Syukur Alhamdulillah, kepala sekolahku begitu ramah dan antusias menerimaku. Beliau mengambil berkas-berkas persyaratan beasiswa di dalam mobilnya. Tak kusangka proposal melamar beasiswa kuliah di Banda Aceh kudapatkan dan mendarat tepat dihadapanku. Mulutku dan hatiku serempak mengucap puji kepada sang Maha Kuasa.
Tak lebih dari seminggu aku mengurus segala persyaratan beasiswa ini. besar harapanku untuk lulus. Kemudian semua berkas berhasil dikirimkan keperguruan tinggi tersebut. Lega. Tapi muncul masalah baru. Mamaku enggan memberi izin. Ya Allah kuatkan aku.
Perjuangan ini terus bergulir. Satu bulan dan Uan pun berakhir. aku tak ingat-ingat lagi bahwa aku pernah mengirim berkas ke Banda Aceh. Kututup rapat-rapat lagi mimpiku. Membuang jauh dari anganku. Mengambil kehidupan baru disini bersama keluargaku. Lukaku terobati oleh waktu.
Dua bulan berlalu, kali ini dibuka pendaftaran kuliah baru dikotaku, Langsa. Aku pergi bersama kakakku untuk mengambil formulir. Biasa saja. Tak ada sumringah, tak ada greget. Mungkin karena mimpiku telah kukubur. Walaupun sakit. Aku tak begitu ambil pusing. Kehidupan terus berjalan.
Manusia hanya berjalan, berencana, mengatur waktu, dan kerja. Allahlah yang menentukan segalanya. Mimpi itu keluar lagi. Impian itu muncul lagi. Semua berawal dari kepala sekolah. Beliau memanggilku kesekolah. Tak terperikan dan membuncah rasa bahagia di hari. Aku lulus. Namaku terbaris rapi dalam undangan pendaftaran ulang mahasiswa baru di IAIN Ar-raniry Banda Aceh. Alhamdulillah, Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa.
Tak hanya aku dinyatakan lulus, tetapi ibuku ternyata memendam impian yang sama. Dibalik ketidaksetujuannya yang memang ingin membuatku tidak terlalu berharap, ternyata beliau menitip do’a untukku. Do’a yang terbaik untukku. Dan ternyata diijabah oleh Allah. Aku yang anak desa sederhana, hidup serba sederhana, meraih mimpi dari keserhanaan. Sukses adalah milik setiap orang yang gigih memperjuangkannya.
Tinggat tetes air mata yang menggenangi pipiku. Deras seperti air terjuan. Saat aku tatap wajah punggung ibuku, disini, dikota ini, Banda Aceh. Teman-teman seangkatan MAN  kelas 3 IPA 1 aku tidak akan melupakan kalian yang gigih berjuang bersamaku. Untuk ayahku yang tidak banyak berkata, ikut sedih melepas kepergianku. Beliau sendirian menangis yang aku tahu ada dibalik tatapan itu. Ayah aku mencintaimu karena Allah, mamak aku juga sangat mencintaimu karena Allah.
Jangan pernah Takut untuk Bermimpi. Karena dari mimpilah muncul orang-orang cerdas, sukses, besar, dan bahagia. Kalau kamu ingin menjadi salah satunya, maka rawatlah mimpimu seperti kamu merawat dirimu sendiri. Ikatlah mimpi itu seperti anggota tubuhmu yang terikat dengan kuat. Genggamlah mimpimu seperti kamu menggenggam tangan kekasihmu. Yang semakin digenggam semakin tidak akan terlepas. Jadilah bintang yang bersinar yang memancarkan cahaya kebaikan dari dalam. ‘Nur Anshari’
Banda Aceh, 26 Juli 2010 pukul 22.00

Ingatan Saat Mamak meninggalkanku menjadi bintang yang bersinar di Banda Aceh

Komentar