Keumala Hayati, Laksamana Pemberani

Oleh: Nur Anshari
Tulisan ini bermula saat penulis melakukan observasi terhadap benda peninggalan sejarah di Teluk Krung Raya pada Februari 2013 lalu. Benda peninggalan sejarah tersebut bernama Kuta Inong Balee. Kuta adalah benteng. Kuta Inong Balee merupakan benteng Inong Balee. Sejarah mencatat bahwa benteng ini dibangun pada masa kerajaan Sulthan Ali Riayat Syah Al Mukammil yang lebih dikenal dengan sulthan Al-Mukammil (1607-1667).
Benteng Kuta Inong Balee ini didirikan oleh beberapa wanita janda yang suaminya gugur pada pertempuran di Teluk Haru. Tidak dikisahkan dengan jelas berapa orang yang membangun benteng yang berjumlah empat buah berhadapan menjurus ke laut. Tinggi benteng ini yaitu 100 meter diatas permukaan laut dengan lebar 3 meter.
Sejarah mencatat benteng ini dipimpin oleh seorang wanita janda. Wanita yang dikenal oleh orang Aceh bernama Malahayati dengan nama sebenarnya adalah Keumala Hayati. Laksamana Keumala Hayati merupakan lulusan Akademi Ma’had bidang militer. Karena kepiawaian dan kepintarannya akhirnya Keumala Hayati diangkat oleh Sulthan Al-Mukammil menjadi seorang Laksamana. (Wikipidia.com/11/4/13)
Laksamana Keumalahayati
Nama Laksamana Keumala Hayati begitu terkenal tidak hanya sebagai Laksamana tetapi juga sebagai protokol dan Diplomat Istana. Hal ini dibuktikan dengan adanya negosiasi dengan Portugis terkait penahanan Fardelin De Houtman. Negosiasi ini pun berhasil ditangan kemahiran Laksamana Keumala Hayati.
Ia adalah perempuan hebat yang berhasil menenggelamkan kapal Portugis yang menewaskan tiga awak kapal termasuk jendralnya bernama Cornelis De Houtman dan Panglima Ferdinand De Houtman berhasil ditawan. Wanita janda ini adalah salah satu tokoh yang juga disegani oleh para pelayar asing yang ingin merebut Aceh seperti Portugis.
Bahkan pepatah Aceh sering menyebutkan Reusam Bak Laksamana Malahayati” yang bermakna, kekuatan ada pada laksamana perempuan yang satu ini. Ia adalah wanita yang perjuangannya seperti halnya Cut Nyak Dhien yang sama-sama berasal dari Aceh. Namun, belum banyak tulisan yang menuliskan tentang kisah perjuangan Laksamana Keumala Hayati. Bahkan, orang Aceh sendiri mungkin ada yang sudah lupa dengan kisah ini. Lama kelamaan, sejarah akan berubah menjadi dongeng yang tidak ada peninggalannya.
Benda yang menjadi bukti sejarah perjuang wanita-wanita janda yang gagah berani ini masih bisa kita lihat di Teluk Krueng Raya di jalan menuju Pelabuhan Malahayati. Tetapi, entah karena dimakan usia berabad-abad lamanya benteng ini mengalami kondisi yang memprihatinkan. Disebabkan tidak mendapatkan penanganan serta pelesetarian khusus dari Dinas Kebudayaan yang terkait.
Sehingga benteng yang menjadi tidak terurus. Akar dan semak menutupi sebagian tubuh benteng. Batu-batu yang menjadi sanggahannya mulai runtuh sedikit demi sedikit. Benteng ini merupakan saksi sejarah perjuangan orang Aceh  melawan penjajah. Tetapi, saat ini yang terlihat bangunan ini semakin jauh dari kewajaran. Jalan menuju lokasi benteng sudah sulit dijangkau. Harus melewati semak dan pohon-pohon, layaknya menyusuri hutan. Begitulah yang penulis pernah amati saat melakuka n observasi.
Kenyataannya, benteng ini hanya berupa gundukan batu yang telah keropos. Tumbuh disekelilingnya pohon-pohon yang tinggi menyebabkan benteng ini semakin lama semakin menghilang akibat akar dari pohon tersbeut. Hal ini terjadi disebabkan tidak ada pemugaran dari Dinas Kebudayaan Aceh. Seperti halnya Benteng Indra Patra yang terletak di gampong Indra Patra yang sudah pernah dipugar oleh Dinas Kebudayaan Aceh. Hal  yang sidah pernah dilakukan terhadap benteng Indra Patra sudah seharusnya juga dilakukan terhadap benteng Inong Balee, melihat kondisi benteng ini yang semakin memburuk akibat pelapukan usia.
Sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Kebudayaan. Didalam UU telah sangat jelas dikatakan bahwa setiap benda sejarah yang berumur kurang lebih 50 tahun adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Begitu pula dengan benteng Inong Balee. Sudah seharusnya dinas yang ditunjuk untuk mengawasi dan mencari benda-benda bersejarah untuk lebih memforsirkan diri menjaga benda bersejarah tersebut seperti bentang Inong Balee dengan sebaik-baiknya.
Kemudian, kepada generasi muda Aceh untuk ikut melestarikan sejarah dengan menuliskan sejarah itu sendiri kedalam bentuk sebuah tulisan. Sehingga tulisan sejarah Aceh bisa menjadi peninggalan sejarah dan perjuangan Aceh bahwa dulunya Aceh merupakan daerah yang disegani bahkan diseluruh dunia. Dengan begitu, anak-cucu kita bisa mengetahuinya dan bisa menggoreskan sejarah yang lebih baik daripada sejarah peninggalan nenek moyang kita.
Harus Dilestarikan
Untuk itu, perlu adanya partisipasi dari setiap elemen masyarakat. Baik itu dari kalangan masyarakat, pelajar, mahasiswa, dosen, peneliti, serta dinas kebudayaan sendiri untuk menuliskan kembali sejarah Aceh menjadi sebuah tulisan yang bisa dibaca dan dinikmati oleh orang banyak.
Kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk ikut membantu dalam menemukan dan melestarikan benda-benda yang diduga sebagai benda peninggalan sejarah. Seperti bentang Inong Balee. Disamping benda peninggalan sejarah ini kita lestarikan bisa juga dijadikan sebagai tempat wisata. Tentunya dengan memulihkan kondisinya terlebih dahulu.
Berkaitan dengan Visit Aceh 2013, benteng-benteng peninggalan sejarah juga bisa menjadi salah satu icon pariwisata karena menjadi salah satu saksi bisu kehebatan orang Aceh dimasa lalu, apalagi untuk turis-turis asing.
Kemudian, kurikulum pendidikan di Aceh juga harus dimasukkan pelajaran sejarah Aceh. Mengingat Aceh adalah daerah otonom berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 tentang keistimewaan Aceh ditiga bidang yakni, Budaya dan adat istiadat, Agama dan Pendidikan. Hal ini bertujuan agar, anak cucu kita mengerti dan memahami bahwa Aceh adalah daerah yang kaya akan Budaya dan sejarah.
Selanjutnya, Aceh tidak hanya bermodalkan wisata dengan tempat-tempat yang sering dikunjungi saja, tetapi kedepannya tambahkan icon peninggalan sejarah didalam rute Visit Aceh 2015 dengan tema menelusuri jejak sejarah Aceh dengan peninggalannya. Semoga!


Komentar