Petikan kisah yang sangat menarik
buatku, mungkin buat kalian juga.
Dikutip dari Novel karangan Tere Liye, Kau,
Aku dan Sepucuk Angpau Merah.
“Tersebutlah dua anak manusia, sebut
saja mereka si Fulan dan si Fulani, kenal satu sama lain sejak masih merah
dalam gendongan. Orangtua mereka sahabat dekat, bertetangga rumah dan berbagi
banyak hal.
“umur enam tahun, saat masa
kanak-kanak, pecahlah perang besar. Pihak sekutu berhasil memukul pasukan
Jepang di Pasifik memberikan kesempatan pada Belanda untuk kembali, mengambil
alih kekuasaan. Meletuslah perang di Surabaya, pemuda-pemuda lokal dibakar
semangat mempertahankan kemerdekaan, menyerbu setiap jengkal pos dan benteng
kompeni. Rumah orang tua si Fulan dan si Fulani ini menjadi salah satu markas
pemuda, medan pertempuran garis terdepan. Ditengah kalut perang, orang tua si
Fulan dan si Fulani mengungsikan anak mereka ke luar kota, dititipkan ke kerabat
dekat si Fulan. Amat prihatin melihat mereka dibawa pedati, dengan bekal
seadanya, menuju kota Malang.
“pimpinan sekutu , Jenderal Mallaby
tewas. Bendera Belanda berhasil dirobek, tetapi harga kemerdekaan selalu harus
dibayar mahal. Orang tua si Fulan dan si Fulani gugur bersama ribuan pemuda
berani lainnya. Si Fulan dan si Fulani pun menjadi yatim piatu. Zaman itu semua
serba sulit, makan susa, pakaian susah. Jangan tanya pendidikan dan masa depan,
itu barang mewah. Besarlah si Fulan dan si Fulani di kerabat dekatnya, kakek
jauh si Fulan yang punya padepokan seni. Senasib, sepenanggungan, membuat si
Fulan dan si Fulani semakin kompak, termasuk kompak menghadapi teman-teman baru
yang jail, sering mengolok-olok. Mereka berdua saling membesarkan hati, saling
mendukung.
“hari menjadi bulan, bulan dirangkai
menjadi tahun, dan mereka tumbuh besar, apa kata bijak itu? Cinta adalah
kebiasaan. Kau tidak bisa membayangkan betapa indah proses transformasi
perasaan dari sekedar sahabat menjadi seseorang yang spesial, macam melihat
ulat berubah jadi kupu-kupu. Usia dua puluh lima mereka menikah. Ketika kabut
membungkus lereng gunung dan udara menjadi gunung dan udara menjadi dingin, si
Fulan dan si Fulani mengikat perasaan mereka menjadi sebuah komitmen. Ah tentu
saja, kata lain dari pernikahan adalah komitmen. Tidak ada yang paling
menakjubkan ketika dua orang berani mengikrarkan komitmen di atas lisan,
tulisan, dan perbuatan.
“pasangan ini, di tengah banyak
keterbatasan, dianugerahi kemampuan seni yang luar biasa. Entahlah di kemudian
hari bakat ini menjadi anugerah atau bencana. Mereka bekerja di gedung kesenian
kota yang waktu itu dekat dengan Lekra.
Kau tahu Lekra? Organisasi underbow seni-budaya milik PKI. Lalu
meletuslah pemberontakan G-30S/PKI. Zaman gelap. Si Fulan tidak ketahuan rimba.
Pagi buta dia diciduk dari rumah, sedangkan si Fulani dijebloskan ke penjara
wanita tanpa proses hukum sama sekali. Apakah pasangan ini PKI? Tentu tidak.
Hidup mereka sederhana. Jangan tanya soal politik kepada mereka. Namun, zaman
itu semua serbasensitif. Zaman ketika salah ucapan apalagi salah perbuatan bisa
berakibat fatal. Jadilah si Fulani susah payah melahirkan di sel pengap,
seorang bayi laki-laki yang diberi nama Janji.
“ dengan berbagai sisa koneksi,
setelah empat tahun dipenjara, si Fulani bisa dikeluarkan. Dimulailah masa
bertahun-tahun yang lebih menyakitkan, mencari tahu di mana suaminya. Tiga
tahun lewat, si Fulan akhirnya berhasil ditemukan. Dia dibuang di pulau
terpencil. Lewat proses yang sama, membawa bukti-bukti, apalagi dengan bukti
keterbatasan mereka, si Fulan berhasil bebas. Berkumpullah keluarga kecil ini,
berusaha merajut kebahagiaan tingga di Jakarta. Mereka membuka toko sembako di
persimpangan jalan, kecil saja, tapi mencukupi.
“lagi-lagi musibah menimpa mereka,
lagi-lagi pecah bisul. Peristiwa Malari 1974, Jakarta dikepung amuk massa. Toko
sembako mereka dibakar. Kalian tahu, si Janji ikut tewas terbakar. Air mata
sudah kering, seluruh kesedihan menggumpal menjadi satu. Apalah itu cinta
sejati? Perasaan? Apakah orang lain juga memiliki pemahaman yang sama? Pelaku
pembakaran? Bukankah mereka juga punya anak, suami atau isteri? Bagi pasangan
si Fulan dan si Fulani semua itu sederhana. Mereka berikrar akan saling
mendukung, saling mendampingi apapun yang terjadi. Dengan segenap kesedihan,
mereka pindah ke Surabaya, memulai awal yang baru.
“tentu saja kalimat bijak itu benar,
selepas sebuah kesulitan pastilah datang kemudahan. Si Fulani hamil, berita
yang hebat, anak kembar, semakin hebat. Aku bahkan tergopoh-gopoh mengunjungi
mereka. Waktu itu aku sudah tinggal di Pontianak. Tahun-tahun itu negara
kembali stabil. Kehidupan kembali normal. Pasangan itu memulai bisnis toko gula
di Surabaya. Untuk pasangan yang jangankan belajar membaca, urusan lain saja susah,
kemajuan bisnis mereka mengesankan. Toko tumbuh, karyawan bertambah, kemakmuran
datang. Kebahagiaan melingkupi bersama besarnya si kembar, lucu menggemaskan,
tak kurang apapun dibanding orang tua mereka.
“tetapi, kalimat bijak itu lagi-lagi
benar, hidup ini macam roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Bisul
kesekian datang. Krisis hebat tahun 1998 membuat ekonomi jadi morat marit.
Kehidupan tambah sulit. Situasi seluruh negeri juga kacau balau. Pemerintahan
berganti. Itulah reformasi. Semua bebas bicara, bahkan kentut pun bisa jadi
berita.
“saat itu banyak orang baik terdesak
keadaan, bertindak curang. Bisnis distribusi gula pasir mereka ditipu orang.
Bangkrutlah mereka. Toko, tanah, dan pabrik kecil mereka disita. Harta mereka
ternyata dijaminkan untuk utang besar oleh orang kepercayaan mereka sendiri.
Apalah arti kata cinta sejati? Perasaan? Setia sampai mati? Separuh jiwa?
Jangan tanyakan hal itu pada pasangan ini. Mereka tidak pandai bercakap, tidak
berpendidikan, dan tidak bisa menulis. Mereka punya banyak keterbatasan. Namun,
mereka bisa menjawabnya dengan perbuatan, saling mendukung, saling
mendampingi, apapun yang terjadi.
“si Fulan dan si Fulani kembali
memutuskan awal yang baru. Pindah ke pinggiran Surabaya, membuka kursus
memainkan alat musik, bakat besar mereka dulu. Dua belas tahun berlalu hingga
hari ini. Begitulah kehidupan mereka. Keluarga mereka tetap utuh dan tetap
kompak. Si kembar sudah dewasa, tiga puluh tahun, sudah berkeluarga, memberikan
cucu-cucu yang tampan dan cantik, sudah punya kehidupan sendiri. Itulah cinta,
Andi. Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong
jika tidak ada aksi nyata.
Tapi, selain sejarah dimana letak
menariknya kisah ini? Kalau soal perang melawan Belanda, PKI, kerusuhan Malari,
krisis 1998, orang tuaku juga mengalaminya. Mereka juga tetap mesra-mesra saja
hari ini. Seru Andi,
“karena kau tidak memperhatikan
detail cerita Andi.
“detail cerita?”
“Ya, detail ceritaku barusan. Si
Fulan dan si Fulani adalah pasangan buta, Andi. Jangankan membaca atau menulis,
melihat saja mereka tidak bisa.” Nah, kau bayangkan mereka buta. Waktu kecil
mereka bermain bersama. Bayangkan saat mereka diungsikan, ditipu, dipenjara,
melahirkan.”
Satu kebiasaan unik mereka, si
Fulani meraih tas kecil miliknya saat sedang naik sepit bersama si Fulan,
meraba-raba bagian dalam mengeluarkan permen, patah-patah membuka bungkusnya,
lantas seperti tahu dimana posisi mulut suaminya, menyuapkan permen itu.
Sayang, gerakan oleng sepit membuat permen jatuh.
Pasangan itu tertawa. Si
Fulani mengulangi mengambil permen, meraba-raba, membuka bungkus plastiknya dan
menyuapi ke mulut suaminya. Dan kebiasaan itu sudah dari kecil mereka dulu.,
tidak pernah bosan, selalu dilakukan dengan mesra. Jangan tanya definisi cinta sejati
pada mereka, Andi. Mereka tidak pandai bersilat lidah, mereka buta. Tapi,
lihatlah keseharian mereka, maka kau bisa melihat cinta. Bukan cinta gombal,
melainkan cinta yang diwujudkan melalui perbuatan.”
Kali ini, Andi benar-benar terdiam
dan lengang.
Cinta adalah memberi.
Komentar
Posting Komentar